![]() |
Posted on October 23rd 2020 |
(Michael Tewelde/AFP/Getty)
Pernah nggak kalian ditangkap Satpol PP, Polisi, atau TNI gara-gara melanggar protokol kesehatan selama pandemi Covid-19? Berapa banyak denda yang diminta? Rp 100 ribu? Atau hanya harus membersihkan lingkungan sekitar tempat kalian terjaring razia?
Jika kalian merasa itu sudah berat, cobalah melanggar protokol kesehatan di Ethiopia. Di negara yang terletak di benua Afrika ini, orang yang melanggar protokol kesehatan secara sengaja bisa kena hukuman penjara dua tahun loh guys. Ngeri nggak tuh.
Dilansir dari Reuters, Kantor Kejaksaan Agung setempat mengumumkan hal ini setelah muncul kekhawatiran bahwa masyarakat akan menjadi lalai setelah keadaan darurat terkait pandemi dicabut dari Ethiopia.
Pembatasan tersebut meliputi larangan berjabat tangan, tidak memakai masker di tempat umum, tempat duduk lebih dari tiga orang satu meja atau tidak menjaga jarak sekitar dua langkah orang dewasa – sekitar 1,8 meter.
“Sekarang, seperti Covid sudah tidak ada lagi, masyarakat tidak peduli. Ini akan menyebabkan kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit dna mungkin menjadi ancaman bagi negara,” cuit Menteri Kesehatan Lia Tadesse pada Kamis (22/10).
Negara terpadat kedua di Afrika ini mengumumkan keadaan darurat pada April untuuk mengekang penyebaran pandemi. Tetapi pada September keadaan darurat ini sudah dicabut. Sejauh ini, kementerian kesehatan setempat mencatat 91.118 kasus Covid-19 dengan 1.384 kematian.
Jumlah kasus memuncak pada akhir Agustus, tetapi sulit untuk mengetahui gambaran sebenarnya karena pengujian telah dikurangi akibat sumber daya yang terbatas. Setidaknya 79 orang meninggal akibat Covid-19 dalam seminggu terakhir, menurut menteri kesehatan, tetapi kurang dari 2 persen kematian yang tercatat resmi.
Pada Rabu (21/10), halaman Facebook kantor kejaksaan Agung menyatakan bahwa undang-undang baru di negara ini mengijinkan denda dan hukuman penjara hingga dua tahun bagi siapa saja yang melanggar aturan pembatasan.
Ethiopia bahkan menunda pemilihan regional dan parlemen yang dijadwalkan pada Agustus akibat terjadinya outbreak. Hajatan politik ini direncanakan akan dilakukan tahun depan.
Berbeda dengan negara Eropa dan Amerika, sebagian wilayah di Afrika belum mengalami gelombang besar infeksi dan kematian. Para ahli mengatakan populasi muda yang lebih banyak, penanganan yang cepat dalam menahan virus dan memiliki lebih banyak populasi pedesaan telah membantu menekan kasus.
Namun banyak pemimpin Afrika mendesak masyarakat untuk tetap waspada. Mereka khawatir akan terjadi lonjakan kasus yang dapat membanjiri sistem kesehatan masyarakat yang masih belum memadai. (*)