![]() |
Posted on August 13th 2018 |
“Ma, aku mau bikin ini buat besok lusa, ya,” kataku pada Mama saat halaman majalah yang kubaca membahas tentang rainbow cake dan cupcake. Dua kue yang sempat populer beberapa waktu lalu.
Mama hanya menoleh sejenak sebelum kembali pada bacaannya. “Ya, boleh.”
Saat itu, Mama mungkin menganggap keinginanku ini hanya angin lalu. Namun, aku bertekad penuh agar niat ini bisa terlaksana.
Segera kutuju toko bahan kue tak jauh dari rumah. Kubeli beberapa bahan seperti yang tertera pada resep. Ah, my first ever cake! Tak sabar rasanya bisa segera mengeksekusi bahan-bahan ini di rumah.
Kuraih apron Mama yang tergantung di dapur. Kutimbang bahan-bahan sesuai ukuran yang ditentukan. Gula dan butter kucampur menjadi satu. Kuaduk bersama mixer, lalu kutambahkan telur ke dalamnya. Setelah merata, susu cair dan vanili menyusul masuk.
Hmm...bahkan aroma mentahnya saja sudah wangi! Aku membatin.
Lantas kutuang adonan tersebut ke dalam beberapa wadah. Kuberi beberapa tetes pewarna, kemudian kupanggang di dalam oven. Aku tak bisa menahan senyum kala adonan itu mengembang sempurna.
Begitu timer berbunyi, kukeluarkan si rainbow cake wannabe itu. Dan seketika, hilanglah senyum di wajahku.
“Yah...kok...,” aku kecewa kala melihat warna kue yang tak karuan. Bukannya rainbow, kueku malah berwarna campur aduk! Huh!
“Tapi rasanya enak kok, Kak,” kata Mama yang tiba-tiba muncul dan mencomot secuil kueku.
“Serius, Ma?”
Mama mengangguk. Membuatku ikut-ikutan mencicipi secuil kue berwarna aneh itu.
“Mmm...,” mataku membulat senang. Setidaknya, ada sedikit yang bisa kubanggakan dari kue pertamaku ini.
“Bikin kue itu, perlu trial and error. Nggak semua bisa bikin langsung berhasil. Resep punya chef ternama pun belum tentu berhasil kamu terapkan. Jadi, besok kamu harus coba bikin lagi,” kata Mama menyemangatiku.
Dorongan dari Mama membuatku makin bergairah. Beberapa hari kemudian, kucoba membuat lagi kue serupa. Kusontek beberapa resep lain di internet. Kuaplikasikan ke dalam beberapa mangkuk adonan. Timbang, tuang, aduk, bentuk. Panggang dan tunggu, dinginkan dan belah jadi dua.
Duhhh, berhasil nggak, ya? gumamku was-was saat mengiris kue yang masih beruap itu.
Saat secuil cupcake berpindah ke mulutku, rasanya aku terbang ke langit ke tujuh. Mantap! Ini dia tekstur dan warna yang kumau. Lembut,berpola pelangi yang sesungguhnya, dan tentu saja rasanya pas.
“Iya, enak,” puji Mama saat kubawa kue itu ke ruang tamu untuk beliau cicipi. “Coba deh kamu cicipin ke teman-temanmu. Siapa tahu mereka bisa kasih masukan juga,” saran Mama.
Sebuah ide brilian seketika menghampiriku. Hmm...bagaimana kalau kubawa ke sekolah dan kujual? Lumayan kan buat nambah uang jajan?
“Oke, Ma. Besok coba kubawa supaya bisa dicobain teman-teman,” kataku sebelum beranjak dari ruang tamu.
Aku harus ke dapur lagi! Mengecek bahan tersisa, demi membuat kue lebih banyak lagi. Iya, demi teman-temanku!
*
Senin tiba dan sekotak kue kubawa serta ke sekolah. Sejak awal aku masuk kelas, teman-temanku sudah tertarik dengan kue ditanganku ini. Namun, sengaja kutunggu hingga jam istirahat tiba agar teman-temanku semakin penasaran.
“Apaan, nih, Gab?”
“Lo jualan?”
“Ih, jago juga lo. Keren!”
“Kalau gue makan, nggak sakit perut, kan?”
Begitu pertanyaan teman-teman sekelas yang mengerubungiku di meja.
“Aman. Gue bikinnya bersih dan gue jamin enak. Sebiji cuma goceng kok. Uang bisa kembali kalau lo rasa nggak enak,” jaminku kepada mereka.
Aku sempat ragu apakah teman-temanku ini masih antusias setelah mendengar promosiku. Tapi ternyata, 15 kue yang kubawa langsung ludes dalam sekejap. Tak terkira senangku saat itu. Apa lagi, mereka merespon positif dan berharap agar aku terus menjualnya.
Kalau 15 buah bisa habis, apa besok kubawa 30 ya? lamunku menatap kotak kue yang telah kosong.
“Kalau mau jualan, kamu harus optimis. Jangan lupa perhitungkan baik-baik pemasukan dan pengeluaran yang kamu dapat,” pesan Mama saat kusampaikan niat itu sepulang sekolah. “Kamu udah siap buat bikin banyak? Udah siap bawa barang banyak? Bakal ribet, loh,” pesan Mama lagi.
Aku mengangguk mantap. “Siap dong, Ma. Demi uang jajan tambahan!” kataku terkekeh.
“Oke, risiko ditanggung pembuat, ya,” kata Mama mengacak-acak rambutku.
*
Mama benar. Barang bawaanku ke sekolah jadi lebih banyak. Dan belum lama aku tiba di bangkuku, teman-temanku langsung mendatangi.
“Jualan lagi kan lo? Cupcake bukan? Gue mau dong, dua ya,” kata salah satu dari mereka.
Sesaat aku terperangah. Masih pagi, baru datang, sudah ada yang beli. Wah, I feel blessed! Bikin sendiri, bawa sendiri, habis dibeli teman-teman sendiri, hasilnya pun buat sendiri. Happy!
Sejak saat itu, aku semakin sering melihat-lihat resep dan mencobanya. Daganganku semakin laris, apa lagi setelah aku mencoba membuat kue lebaran.
Ya. Nastar, putri salju, lidah kucing, kastangel, hingga kue kacang berhasil kubuat tahun lalu. Sama seperti sebelumnya, usahaku membuat kue-kue ini pun tak langsung berhasil. Bahkan bisa dibilang lebih banyak gagalnya.
“Lebaran ini, seriusin jualan kue lebaran aja, Kak. Nanti Papa bantu promosiin ke teman-teman Papa di kantor. Tapi, kamu harus sedia tester sebelum puasa nanti, ya,” saran Papa menyemangatiku berjualan.
“Beneran, Pa? Asyiikkk...,” lonjakku girang.
Jelang lebaran, aku berhasil menyelesaikan 50 stoples kue. Jumlah yang lumayan banyak untuk dilakukan seorang pemula sepertiku.
“Kata teman Papa enak, Kak. Cuma ada sedikit masukan supaya tekstur putri saljunya bisa lebih lembut lagi. Selebihnya mereka mendukung kamu buat jualan lagi tahun depan,” kata Papa bangga.
Aku yang mengerjakan semua itu, jelas lebih bangga lagi. Bukan semata karena nominal yang kuterima, tapi karena respon positif dan masukan dari teman-teman Papa yang membeli. Iya, aku harus membuat kue lebih baik lagi agar pembeliku terus kembali.
Di tahun ini, aku kembali membuat kue lebaran. Tak kusangka pesananku bertambah empat kali lipat dari tahun lalu. Di dominasi oleh nastar dan putri salju, pesanan tahun ini tak kukerjakan sendirian. Melibatkan Papa, Mama, bahkan adikku yang paling kecil.
Keuntungan berjualan kue yang selama ini kudapat, pelan-pelan kubagi untuk tabungan dan modal dagang selanjutnya. Bahkan setelah berjalan rutin, aku tak lagi harus meminta uang jajan pada orang tuaku. Sebab, aku sudah bisa jajan dari hasil keringatku sendiri.
Tak terasa telah tiga tahun kujalani usaha kue ini. Aku bahkan telah memiliki online shop, yang membuat usahaku lebih luas dan lebih dikenal banyak orang. Dulu mungkin aku hanya menerima satu orderan dalam sebulan. Tapi kini, aku bisa menerima lima orderan dalam sebulan berkat online shop.
Aku tak pernah membayangkan kalau dua jenis kue yang pertama kubuat bisa mengantarku hingga menjadi seperti sekarang. Dua kue yang turut mengembangkan kemampuanku, untuk bisa membuat kue jenis lain seperti kukis ataupun cake pops.
Usahaku ini mungkin harus rehat sejenak karena kesibukan kuliahku sekarang. Namun, aku tetap berharap kalau suatu hari aku bisa meneruskannya. Bahkan kalau bisa memiliki toko kue sendiri dengan karyawan sendiri.
Aku percaya bahwa keberanian dapat menuntun kita melakukan sesuatu di luar yang kita bayangkan. Dan keyakinan, membuka kita semakin mantap menjalani setiap peluang yang terbuka. Kalau aku bisa, kenapa kamu tidak?