Portrait

Sastrawan Kebanggaan Indonesia, Sapardi Djoko Damono Tutup Usia

Ahmad Redho Nugraha

Posted on July 19th 2020

 

Indonesia kehilangan salah satu sosok besar di dunia sastra. Profesor Sapardi Djoko Damono tutup usia pada Ahad (19/7) pukul 09.17 WIB di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Sosok yang kerap disapa Eyang Sapardi ini menghembuskan napas terakhirnya setelah melewati perawatan intensif karena penurunan fungsi organ tubuhnya.

Kabar meninggalnya Sapardi Djoko Damono juga dikonfirmasi oleh pihak Universitas Indonesia tempat beliau mengabdi sebagai akademisi sekaligus guru besar di bidang sastra. Di luar kampus sendiri, Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai sastrawan adiluhung yang telah aktif berkarya sejak 1958, mulai dari menulis puisi untuk surat kabar hingga menjadi guru besar di bidang sastra pada akhir hayatnya.

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1943 dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Ia merupakan anak tertua dari dua bersaudara. Nama Sapardi disematkan orang tuanya karena beliau lahir di bulan Sapar (Safar).

Sapardi Djoko Damono menempuh pendidikannya hingga SMA di Solo, sebelum melanjutkan studi ke jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada dan memperoleh gelarnya pada 1964. Ia juga sempat menempuh pendidikan non gelar di University of Hawaii, yaitu pada 1970-1971.

Pada 1989, ia menyelesaikan program doktornya dengan predikat sangat memuaskan di UI dengan disertasi mengenai novel-novel di Jawa tahun 1950-an. Kemudian, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia pada 1995.

Selain sebagai penulis, beliau juga aktif bekerja sebagai pengajar dan dosen. Bahkan saat sudah memasuki usia senja, beliau masih rajin berkeliling Indonesia dari satu lokakarya ke lokakarya lain, baik sebagai juri, pembicara ataupun tamu kehormatan. Ia juga kerap menjadi promotor konsultan dan penguji di beberapa perguruan tinggi dan instansi, termasuk menjadi konsultan Badan Bahasa.

Dalam dunia sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono mempunyai peran penting. Dalam Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an.

Dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960. Puisi Sapardi Djoko Damono banyak dikagumi karena banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat yang disebut simbolisme sejak akhir abad ke-19.

Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001), dan kumpulan sajak Kolam (2009).

Wafatnya Sapardi Djoko Damono membawakan kedukaan bagi banyak masyarakat Indonesia, terutama penulis dan sastrawan Indonesia masa kini. Sosok-sosok seperti Dee Lestari, Okky Madasari dan Joko Pinurbo turut menyampaikan belasungkawa atas kepergiannya dan membagikan kenangan tidak terlupakan mereka bersama sang maestro Hujan Bulan Juni.

Salah satu puisi Sapardi Djoko Damoni yang paling banyak dikutip semua orang saat ini untuk menggambarkan kesedihan mereka adalah "Yang Fana adalah Waktu".

Yang Fana adalah waktu

Kita abadi

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

Sampai suatu hari nanti kita lupa untuk apa

"Tapi yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.

Kita abadi

(1978)

 

Selamat jalan Eyang Sapardi. Mungkin sukmamu telah menghadap Sang Pencipta, tapi karyamu akan terus abadi dalam aliran waktu. (*)

 

Artikel Terkait
Interest
On This Date: Penulis Sapardi Djoko Damono Genap Berusia 80 tahun

Portrait
Mengenal Truman Capote, Pelopor Jurnalisme Sastrawi Dunia

Portrait
Marie Frediksson, Vokalis Roxette Meninggal Setelah 17 Tahun Melawan Kanker