Current Issues

Musim Panas Datang, Akankah Virus SARS-Cov-2 Jadi Tak Berdaya?

Dwiwa

Posted on April 30th 2020

 

Beberapa penelitian menunjukkan jika panas, kelembaban, dan sinar ultraviolet memang dapat melukai virus. Meskipun ketiganya dapat menghambat penyebaran virus, cuaca cerah, panas, dan lembab saja tidak cukup untuk mengakhiri epidemi.

Contoh nyata adalah Singapura, Ekuador, dan Louisiana yang baru-baru ini mengalami lonjakan jumlah kasus positif. Padahal, negara-negara tersebut memiliki suhu hingga lebih dari 80 derajat fahrenheit atau sekitar 26 derajat celcius dengan kelembaban 60, 70, bahkan 80 persen.

Untuk kasus flu biasa, suhu panas, sinar UV dan kelembaban, plus vaksin atau perawatan medis lainnya, memang terbukti ampuh. Tetapi virus SARS-Cov-2 adalah hal baru dan belum banyak antibodi yang terbentuk. Jadi sepertinya virus tetap bisa menyebar meskipun musim panas datang.

“Untuk novel coronavirus SARS-COV-2, kami memiliki alasan untuk berharap jika seperti betacoronavirus lain, ini mungkin lebih menular di musim dingin dibanding panas. Meskipun kami tidak tahu mekanismenya,” tulis ahli epidemiologi Harvard Marc Lipsitch seperti yang dikutip dari Vox.

Virus ini juga telah terbukti lebih sulit menyebar di area terbuka, menunjukkan jika pelonggaran lockdown untuk olahraga mungkin saja cukup aman asalkan aturan physical distancing dan penggunaan masker tetap dijalankan. Lagi pula, olahraga baik untuk kesehatan fisik dan mental.

Suhu panas diyakini dapat membuat lapisan terluar virus melemah, seperti lemak yang meleleh di suhu tinggi. Sinar UV yang lebih banyak muncul saat cuaca cerah di musim panas juga telah diketahui sebagai salah satu disinfektan yang dapat menghancurkan sel dan virus.

Sementara kelembaban di udara efektif menangkap virus yang ada di droplet. Dengan begitu, droplet yang dikeluarkan seseorang saat sedang bernafas lebih mudah jatuh ke tanah dibanding menyebar ke orang lain. 

“Ada banyak virus corona yang memperlihatkan pengaruh musim pada perkembangannya. Hipotesisnya, virus Covid-19 memiliki perilaku yang sama,” ujar director of the Machine Intelligence Lab di Boston Children’s Hospital, Mauricio Santilana.

Lalu bagaimana dalam kehidupan nyata?

Sampai saat ini, virus corona menyebar dengan cepat di bumi belahan utara yang sedang mengalami musim dingin dan awal musim semi. Masih belum jelas apakah ini penyebaran yang masif itu disebabkan oleh cuaca atau bukan.

Sebab data yang ada di bumi bagian selatan, khususnya negara miskin di Afrika dan Amerika Selatan, tidak bisa dipastikan karena buruknya infrastruktur kesehatan masyarakat yang ada.

Penelitian yang dilakukan oleh Bill Bryan, wakil menteri untuk sains dan teknologi di Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, menyebut jika virus corona tampaknya mati lebih cepat di lingkungan panas dan lembab dengan sinar UV yang melimpah.

Entah sudah pasti atau belum, yang jelas dunia nyata tidak sesederhana laboratorium. Ada banyak hal yang dapat mempengaruhi. Termasuk karakter virus yang dikembangkan di laboratorium mungkin saja berbeda dengan di dunia nyata.

Ada juga faktor perilaku. Saat musim dingin, orang lebih suka berdiam di rumah. Ruangan yang lebih sempit dan sedikit ventilasi yang membuat virus lebih mudah menyebar. Mereka juga tidak mendapatkan panas dan sinar matahari yang bisa meningkatkan sistem imun tubuh.

Berbagai penelitian pun masih terus dilakukan untuk mengetahui lebih banyak terkait perilaku virus SARS-Cov-2 terhadap iklim.

Beberapa di antaranya sudah menggunakan pengaturan menyerupai dunia nyata untuk melihat apakah cuaca, suhu, kelembaban dan sinar UV memang berpengaruh pada daya tahan virus. Peneliti lain juga mengembangkan model berbasis data dari berbagai belahan dunia.

Harvey Fineberg, seorang penulis di National Academies mengatakan, beberapa bukti menunjukkan jika SARS-Cov-2 ditransmisikan lebih lambat di lingkungan dengan suhu dan kelembaban tinggi.

Tapi, mengingat belum adanya antibodi secara global, penurunan efisiensi penularan ini tidak akan berdampak signifikan pada berkurangnya jumlah penularan tanpa intervensi dari otoritas kesehatan.

Ekuador menjadi salah satu bukti nyata. Dengan suhu lebih dari 80 derajat fahrenheit, wilayah ini telah menjadi salah satu penyumbang kematian terbanyak di dunia. Ini menjadi tanda jika cuaca panas, cerah, dan lembab tidak berdampak jika infrastruktur kesehatan tidak memadai. 

Singapura yang dekat dengan garis khatulistiwa awalnya berhasil mengatasi Covid-19. Namun kini justru menjadi salah satu negara dengan lonjakan kasus yang cukup tinggi. Tampaknya, ini disebabkan karena faktor pekerja migran yang diabaikan di awal.

Covid-19 diduga menyebar dengan cepat di tempat sempit dan terkadang jorok yang menjadi rumah para migran. Cuaca panas dan lembab tidak akan bisa berpengaruh secara signifkan untuk mengatasi masalah yang sudah ada sebelumnya. 

Sementara di Louisiana, para ahli memperkirakan jika ledakan kasus Covid-19 kemungkinan disebabkan perhelatan Mardi Gras yang dilaksanakan pada 25 Februari silam. Perayaan besar-besaran itu tampaknya menjadi pusat penularan, meskipun suhu kala itu mencapai 70 derajat fahrenheit.

Bahkan kasus terus bertambah walau suhu meningkat hingga 80 derajat fahrenheit. Mungkin memang cuaca membuat keadaan lebih baik dari seharusnya. Tetapi sekali lagi, efek perilaku manusia tetap memiliki peranan paling penting dalam penyebaran Covid-19.

“Sementara kami melihat pengaruh (cuaca), efek yang kami lihat –jika memang ada- tertutup oleh tingginya tingkat kerentanan di populasi. Banyak orang masih sangat rentan. Jadi meskipun suhu atau kelembaban memainkan peran, kekebalan tubuh masih tidak cukup,” ujar Mauricio.

Kesimpulan dari semua ini adalah, perubahan cuaca saja tidak akan cukup untuk membuat social distancing diabaikan. Apalagi dengan fakta jika Covid-19 masih menjadi misteri dan belum banyak diketahui bahkan untuk para ilmuwan sekalipun.

“Jika kesehatan semua orang menjadi prioritas, sangat tidak bertanggung jawab untuk mengabaikan social distancing dalam waktu dekat. Kita belum selesai, bahkan meskipun musim panas,” kata Mauricio.

Mungkin saja musim panas memang membuat membuat virus corona lemah. Tetapi itu tidak serta merta dapat memusnahkan virus dan menghentikan pandemi.

Social distancing masih tetap diperlukan, setidaknya sampai vaksin atau obat efektif lain untuk menyembuhkan Covid-19 ditemukan. Jangan lupa juga untuk rajin mencuci tangan dengan sabun dan selalu kenakan masker saat keluar rumah. (*)

Artikel Terkait
Current Issues
Penelitian: Ternyata Orang Menolak Bermasker Kemampuan Kognitifnya Rendah!

Current Issues
Kematian Akibat Covid-19 Tembus Sejuta, Apa yang Harus Dilakukan?

Current Issues
Meski Pakai Masker, Jangan Lantas Abaikan Social Distancing. Ini Alasannya