
Seiring merebaknya persebaran Coronavirus atau Covid-19, pemerintah pun mulai serius memberikan anjuran dan imbauan kepada masyarakat. Salah satunya melakukan social distancing atau menjaga jarak serta berdiam diri di rumah demi mencegah persebaran Coronavirus lebih parah.
Imbauan ini sendiri sebenarnya disambut baik sama masyarakat. Sayang, nggak semua bisa serta-merta melaksanakannya. Seperti yang bisa kita lihat di berbagai media sosial soal situasi yang lumayan chaos di ibu kota Jakarta pagi ini. Status sebagai daerah dengan jumlah kasus terbanyak nggak membuat warga Jakarta otomatis bisa mendekam diri di rumah.
Jutaan orang masih harus keluar dari rumah buat beeraktivitas seperti biasa. Tapi, layanan sudah dikurangi sama pemerintah. Akibatnya, banyak orang jadinya menumpuk di tempat-tempat umum, antrean mengular sampai ke jalan. Sistem social distancing pun mulai dipertanyakan efektivitasnya sama warga.
(Twitter)
Portal berita Vox menyebutkan sebetulnya nggak salah kalau orang tetap beraktivitas di luar selama mereka sehat. Masalahnya, virus ini belum tentu langsung terlihat gejalanya. Sehingga orang yang kelihatannya sehat ternyata bisa juga sudah terinfeksi Coronavirus. Makanya social distancing sangat diperlukan. Lantas, bagaimana social distancing bisa benar-benar diterapkan dengan tepat?
Vox menanyai beberapa pakar kesehatan mengenai pentingnya menjaga jarak di tengah pandemi Covid-19 dan bagaimana menjaga jarak yang efektif. Idealnya satu orang menjaga jarak sekitar 6 kaki atau 1,8 meter dengan orang lain. Jarak yang lumayan susah sebenarnya untuk kita jaga kecuali kita diam aja di dalam rumah.
Seorang spesialis patogen yang bermukim di New York, Syra Madad, berpendapat, masing-masing daerah bisa menerapkan social distancing yang berbeda. Ada tingkatannya.
Dia mencontohkan seperti yang terjadi di King County, New York, pemerintah setempat menerapkan pembatasan kegiatan kelompok nggak boleh lebih dari 10 orang. Ini karena pemerintah setempat menilai bahwa interaksi sosial tetap dibutuhkan oleh warganya demi kesehatan mental juga.
Lamar Hasbrouck, seorang tenaga medis yang sebelumnya bergabung dengan Center for Disease Control and Prevention (CDC) memberikan tips lain. Di tengah situasi yang cukup menimbulkan kepanikan, usahakan untuk tetap melakukan kegiatan seperti hari-hari normal. Tapi, dengan cara yang bijak.
Misalnya kalau mau belanja ke luar. Kita nggak mungkin nggak belanja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Imbauan pemerintah kita agar nggak membeli satu item banyak-banyak otomatis membuat kita terpaksa tetap harus ke supermarket atau pasar. Tapi, pilih waktu belanja yang tepat. Misalnya pagi hari di mana nggak banyak orang berbelanja. Selesai belanja, pastikan belanjaan kita juga dibersihkan dengan lap atau tisu basah.
Atau kalau mager keluar, kita bisa andalkan belanja online. Paketnya bisa dikirim ke rumah, seperti yang sudah banyak dilakukan di era online shopping saat ini. "Sangat penting di masa-masa seperti ini untuk berpegang teguh pada normalitas sebisa mungkin," jelas Lamar Hasbrouck.
Kemudian, dia juga menyarankan warga tetap berolahraga. Tapi, pilih tempat yang nggak banyak orang berkumpul atau waktu di mana nggak banyak orang berkerumun. Meskipun diminta diam di rumah, bukan berarti kita nggak berolahraga sama sekali atau cuma rebahan, lho. Olahraga tetap dibutuhkan untuk menjaga badan agar tetap fit.
Sementara itu, warganet di media sosial juga membagikan bagaimana contoh social distancing yang sudah dilakukan di negara lain. Salah satunya di Tiongkok, seperti yang dibagikan sama akun @jesicatedja. Jarak antar individu di tempat umum diatur supaya mereka nggak saling bersentuhan. Jadi kalau mengantri di tempat umum, seenggaknya jarak kita dan orang depan sekitar satu meter.
Di Filipina yang warganya mayoritas Katolik, mau nggak mau mereka tetap mengadakan ibadah bersama di gereja. Tapi, kursinya sudah diatur sedemikian rupa dengan pembatas supaya jemaat nggak duduk berdampingan. Ibu kota Manila juga sudah menerapkan social distancing di kendaraan umum. Penumpang kereta diatur jarak duduknya supaya nggak bersebelahan langsung.
Di Singapura, kursi di restoran dikasih tanda bagian mana yang nggak boleh diduduki, supaya ada jarak antara satu pelanggan dengan yang lain. Sementara di Thailand diberlakukan social distancing salah satunya dengan kasih tanda kaki di beberapa sudut lift, tempat di mana orang harus berdiri. Mereka nggak boleh berdiri di luar tanda kaki itu.
Ingat, demi menjaga supaya virus nggak menginfeksi makin banyak orang, kita juga harus menjaga diri dan ikuti instruksi pemerintah. Jangan bandel nongkrong rame-rame, libur sekolah malah dipakai main bareng temen. Semoga semuanya sehat-sehat ya! (*)