Current Issues

Mengenang Charles Dickens, Sastrawan Inggris yang Menulis untuk Kaum Papa

Surya Dipa Nusantara

Posted on February 7th 2020

7 Februari, 208 tahun lalu seorang anak bernama Charles Dickens terlahir di tengah-tengah sebuah keluarga miskin. Dickens, dibesarkan di pojokan Landsport, Portsmouth, kota kecil di daratan Britania Raya. Anak seorang juru tulis kantor keungan Angkatan Laut itu tak pernah menyangka bahwa dunia akan mengenang dunia. Lewat pena dan keberaniannya, Charles Dickens tercatat sebagai legenda.

Charles Dickens dalam sepanjang karier kepenulisannya setidaknya telah menorehkan beberapa karya sastra legendaris. Beberapa judul novelnya bahkan tercatat sebagai kanon --sebuah karya yang dinilai cukup penting di sejarah sastra dunia-- yang masih terus dibaca dan dicetak ulang hingga hari ini.

Karya prosa Dickens memiliki ciri khas yang cukup kuat. Salah satunya adalah, ia tak pernah lupa mengabarkan tentang penderitaan masyarakat miskin di tiap karyanya. Seperti di buku Oliver Twist (1838) misalnya.

Dickens membicarakan anak-anak yatim piatu di kota London terpaksa menjadi pencuri. Karena, bocah-bocah malang tersebut, tak tahu cara lain untuk bertahan hidup. Kisah sepasang bocah kelaparan dalam buku Oliver Twist tersebut digunakan oleh Dickens untuk melontarkan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya abai pada kondisi masyarakat Inggris saat itu.

Selain Oliver Twist, Dickens memiliki karya lain yang tak kalah bernasnya. Hingga hari ini, setidaknya nama Dickens selalu terpampang di rak-rak toko buku lewat dua karya prosanya yang terus dicetak ulang hingga hari ini.

Karya itu adalah The Christmas Carol (1843) dan The Great Expecatation (1861). Seperti halnya Oliver Twist, kedua karya tersebut juga menyoal ketimpangan kondisi ekonomi yang terjadi di Inggris pada abad ke-18, dan dikisahkan secara romantik.

 

Kemiskinan, bagi Dickens adalah hantu yang terus membututinya. Ia telah akrab dengan kemiskinan bahkan sejak ia dilahirkan di dunia. Namun, puncak trauma Dickens atas kemiskinan berada dikala usianya menapaki angka 12 tahun. Saat sang Ayah harus diseret ke penjara, Dickens yang merupakan anak tertua harus putus sekolah dan bekerja demi mencukupi kebutuhan harian rumah.

Dickens marah atas kondisi yang menerpa dirinya dan keluarganya. Ketika anak-anak seusianya hanya ditugaskan untuk belajar, Dickens harus memikirkan bagaimana cara keluarganya bisa makan. Namun, ia tak bisa mengingkari garis takdir. Tapi, Dickens bertekad bahwa ketika ia dewasa, ia harus mengentaskan seluruh keluarganya dari mimpi buruk bernama kemiskinan tersebut.

Namun seiring dengan kariernya yang mulai merekah, taraf hidup Dickens juga turut meningkat. Puncaknya, ia bisa mengapai mimpi yang telah ia pelihara sejak kecil, yaitu membeli Gad Hill’s Place.

Di tempat itulah, ia kembali bergelut dengan onak dan duri. Di saat kariernya berada di puncak, Dickens terlena dengan pola hidup foya-foya. Tiada hari tanpa pesta, hingga puncaknya di tahun 1869, Dickens pingsan di atas panggung, dan divonis menderita stroke.

Saat tengah dalam kondisi terpuruk, Dickens juga ditimpa kemalangan lain. Istrinya, pergi meninggalkan Dicknes di tengah malam dan tak pernah kembali. Satu-satunya kabar yang dilayangkan oleh sang istri adalah sebuah surat perceraian. Kehidupan Dickens pun kian ringsek, dan harapannya untuk melanjutkan hidup pun kian meredup.

Alhasil, Dickens selama bertahun-tahun jarang tampak di publik. Ia menghabiskan hari-hari akhirnya di kastil yang ia dambakan berkawan dengan kesepian. Di masa tuanya, Dickens terus menulis. Ia pun berencana menulis sebuah novel terakir berjudul Edwin Drood, sebagai kenang-kenangan untuk pembaca setianya.

Namun, takdir Tuhan berkata lain. Sebelum Edwin Drood rampung, Dickens lebih dulu dipanggil oleh sang pencipta. Di sebuah pagi pada tanggal 9 Juni 1870, ia ditemukan tak bernyawa di atas meja kerjanya. Dickens pun disemayamkan di"Poet`s Corner", di Westminster Abbey.

Di atas batu nisannya, dibubuhkan sebuah penggalan kalimat yang ditulis oleh pembacanya. "Ia [Dickens] adalah seorang yang bersimpati pada orang-orang yang miskin, menderita, dan tertindas; ketika ia meninggal, Inggris dan dunia kehilangan salah seorang penulis terbesarnya." (*) 

Artikel Terkait
Current Issues
On This Date: 31 Maret 1889 Menara Eiffel Pertama Kali Dibuka

Current Issues
On This Date: 2 April 1912, Titanic Mulai Diujicobakan di Laut

Current Issues
On This Date: 30 Januari 2018, James Harden Catat Rekor Triple Double Terbesar