Entertainment

Review 'Birds of Prey', Emansipasi Super Seksi

Delya Oktovie Apsari

Posted on February 5th 2020

 

'Birds of Prey' merupakan film pertama Harley Quinn tanpa Joker. Beruntungnya, sutradara Cathy Yan, penulis naskah Christina Hodson dan Margot Robbie sebagai produser nggak menyia-nyiakan penampilan solo Harleen Quinzel.

Ketika trailer filmnya dirilis, beberapa orang berkomentar tentang absennya Joker. Ada juga yang berdoa supaya Joker bakal tampil supaya filmnya 'nggak membosankan'. Well, ketiga kunci di garda terdepan 'Birds of Prey' tersebut berhasil membuktikan kalau mereka salah besar. Ini waktunya emansipasi wanita.

Bahkan, pesan ini sungguh-sungguh disampaikan di sepanjang film (like, literally, ada embel-embel 'emancipation').

 

 

Harley Quinn (Margot Robbie) muncul sebagai pembuka, berpura-pura tegar seraya tenggelam dalam chaos dan menggunting rambut ikoniknya. Ia patah hati, karena dia dan Mr. J, alias Joker, benar-benar putus. Nggak bakal balikan lagi.

Ia menghabiskan waktu cukup lama -- and pretty messy, ketika menghadapi kenyataan kalau kini, Harley sendirian. Harley Quinn, tanpa Joker.

 

 

Realita ini pil pahit yang harus ditelan Harley. Hingga di satu titik, ia menyadari kalau dia harus bersinar sebagai solo -- enggak, dia nggak nge-dance nyanyi 'I'm shining solo' sambil goyang jari di atas bahu ala Jennie 'BLACKPINK'.

Harley memulai perjalanan hidup tanpa bayang-bayang Joker. Diawali dengan menimbang-nimbang apa yang ia dapat selama berpacaran dengan Joker -- nothing, but immunity. Harley bahkan bercerita kalau kejahatan-kejahatan Joker banyak yang diprakarsai Harley. Namun, Joker yang mendapat pengakuan.

Bukan cuma Harley yang separuh hidupnya dihabiskan sebagai pemanis pria. Ada pula Dinah Lance (Jurnee Smollett-Bell) alias Black Canary.

 

 

Dalam sebuah konfrontasinya dengan Renee Montoya (Rosie Perez), detektif kepolisian Kota Gotham, Lance menyebut bahwa ia dulunya hidup di jalanan, sampai akhirnya Roman Sionis menyelamatkannya, dan menjadikannya penyanyi di klub miliknya.

Lance juga ingin keluar dari jeratan Sionis. Tentu, ia sadar bahwa nyawa yang menjadi taruhannya. Ia tak bisa serta-merta mengajukan surat resign ke Sionis, yang juga dikenal sebagai Black Mask, penjahat yang sukanya menguliti wajah lawannya. Ew.

Ketika Lance menyanyi di klub Sionis dengan balutan gaun hitam, ia menyanyikan lagu 'It's A Man's Man's Man's World', yang dipopulerkan oleh James Brown.

"This is a man's world/ this is a man's world / But it wouldn't be nothing, nothing without a woman or a girl"

Pesan lagunya 'keras' sekali. Bagaimana dunia dikuasai oleh pria yang menciptakan mobil, kereta api, listrik, dan perahu 'like Noah made the ark'.

Ketika Lance menyanyikan lagu ini dengan suara yang dideskripsikan Harley sebagai 'killer voice', penonton seakan diajak merasakan penderitaan Lance selama ini, hidup bergantung pada pria kejam layaknya Sionis.

Kuasa pria selanjutnya ditunjukkan lewat karakter Renee Montoya (Rosie Perez). Montoya adalah detektif berbakat. Sepuluh tahun lalu, ia memecahkan kasus besar. Sayangnya, yang mendapat promosi justru rekannya, seorang pria.

 

 

Montoya berusaha keras membuktikan kalau dia worthy. Ia pun menyiapkan gongnya dengan menyelidiki sindikat Sionis. Tetapi, kepala polisi -- yang juga pria, menolak idenya karena menganggapnya tidak memiliki cukup bukti (meski Montoya bilang dia sudah menginvestigasi selama enam bulan dan punya orang dalam. Hmm, mungkin ini bukti kalau punya orang dalam nggak begitu menjamin gol kita).

Perempuan tersakiti selanjutnya adalah Helena Bertinelli (Mary Elizabeth Winstead), yang ingin dikenal sebagai Huntress (orang-orang lebih familiar menyebutnya The Crossbow Killer).

 

 

Helena adalah anak dari mafia Franco Bertineli, yang seluruh keluarganya dibantai oleh kelompok mafia lainnya ketika ia masih kecil. Ia kembali setelah berlatih keras menjadi pembunuh, dengan tujuan mengambil nyawa empat penembak keluarganya.

Terakhir, Cassandra Cain (Ella Jay Basco), pencopet remaja yang -- tanpa sepengetahuannya -- mengambil berlian berharga dari Sionis. Ia selama ini tinggal bersama orang tua yang telah mengadopsinya, namun mereka kerap bertengkar. Salah satunya, ya gara-gara kebiasaan nyopetnya.

 

 

Cain tinggal di apartemen yang sama dengan Lance. Ketika Lance bertemu Cain, Lance pun menyarankan Cain untuk nggak menggantungkan hidup pada keluarganya. It's not worth it. Cain akhirnya memutuskan untuk 'membebaskan' dirinya sendiri.

 

Emansipasi dalam film ini bukan hanya soal geliat wanita menentang pria sebagai oppressor. Tetapi soal mereka yang bernapas hanya karena mereka diizinkan oleh yang berkuasa, dan mereka memutuskan untuk meloloskan diri.

'Birds of Prey' menyuguhkan banyak pelajaran soal arti emansipasi dalam 109 menit. But still in a fun way!

Sesuai judul review kali ini, 'Birds of Prey' menyajikan emansipasi dengan cara super seksi. Seksi dalam hal bagaimana para perempuan ini membela diri sendiri -- ya dengan bela diri!

Action di film ini nggak setengah-setengah. Sadis dan penuh tawa ala 'Deadpool', sedangkan tiap karakter punya cara bertarungnya sendiri-sendiri. Psstt... bakal ada kejutan dari 'killer voice'-nya Dinah Lance!

'Birds of Prey' is a whole, perfect portrayals of how everyone deserves to stood up for themselves. (*)

Artikel Terkait
Entertainment
Mengapa Joker Absen dari 'Birds of Prey'?

Entertainment
Siapakah Black Mask, Musuh Utama Harley Quinn di 'Birds Of Prey'?

Entertainment
Trailer Terbaru 'Birds of Prey': Patah Hati Namun Tetap Penuh Aksi