Dar-der-dor daia! *itumah dag-dig-dug-der*
![]() |
Posted on July 2nd 2018 |
Ada yang kurang jika sebuah perayaan nggak diramaikan petasan. Tengok saja suasana tahun baru, ramadan, malam takbiran, sampai pernikahan dan khitanan. Mau dilarang bagaimanapun, suara berisiknya malah bikin dia sulit dilupakan. Imejnya yang membahayakan justru menantang buat dimainkan. Mulai dari jenis korek, cabe, jangwe, rentet, hingga banting, selalu memanggil ketika perayaan-perayaan itu tiba.
Hmm...memang gimana sih ceritanya petasan bisa sampai ke Indonesia dan menjadi tradisi?
Hadirnya petasan di Indonesia jelas tak lepas dari peran para imigran Tionghoa. Mereka yang berusaha mengikuti tradisi tanah leluhurnya, selalu memainkan petasan sebagai atraksi dalam perayaan hari besar. Imlek, Cap Go Meh, atau Pehcun (pesta perahu) adalah tiga diantara perayaan tersebut. Kemeriahannya begitu menarik perhatian. Sehingga lambat laun terserap dan mempengaruhi beberapa budaya nusantara.
Di daratan Cina sendiri, petasan sudah dikenal sejak era Dinasti Han pada tahun 200 SM. Kala itu bentuknya masih berupa batang bambu dan disebut bàozhú alias the exploding bamboo. Ia digunakan untuk mengusir Nian, sang makhluk gunung pembuat onar perayaan tahun baru. Karena dianggap berhasil, sejak saat itu petasan jadi tak pernah absen dibunyikan dalam setiap perayaan.
Pada era dinasti Song (960-1279), petasan semakin membahana lewat penemuan bubuk mesiu oleh seorang pendeta bernama Li Tian dari Liu Yang, Provinsi Hunan. Penemuan yang menjadi tonggak awal berdirinya industri kembang api ini, membuat Provinsi Hunan dikenal sebagai produsen petasan dunia hingga sekarang.
Melalui tulisannya dalam Republika edisi 31 Desember 2017, sejarawan Alwi Shahab menuliskan bahwa dekatnya tradisi Tionghoa dengan masyarakat pribumi membuat petasan cepat diadaptasi ke dalam budaya Betawi. Bukan buat menakuti-nakuti setan, melainkan sebagai alat komunikasi antar kampung.
Sepi dan jauhnya kondisi antar rumah di Batavia saat itu, tulis Alwi, membuat petasan efektif sebagai media pemberitahuan. Sehingga apapun hajatannya, selalu ada petasan yang dibunyikan sebagai penanda. Semakin banyak petasan yang dibunyikan, berarti semakin tinggi status sosial si pemangku hajat.
Namun rupanya keberadaan petasan sering disalahgunakan. Ia kerap dibuat bahan mainan orang-orang yang iseng! Tentu saja pemerintah harus turun tangan untuk melarangnya. Karena efek yang ditimbukan cukup membahayakan pengguna dan mengganggu orang di sekitarnya.
Tentu saja bahaya petasan dan larangan memainkannya bukan baru muncul belakangan ini saja. Sejak tahun 1650, seperti dicatat oleh majalah Historia edisi Januari 2010, pemerintah Belanda bahkan telah melarang penggunaan petasan terutama di bulan-bulan kemarau. Sebab petasan memicu kebaran di kebun para tuan tanah dan permukiman penduduk yang saat itu masih beratap rumbia. Lagipula, ledakan petasan suka disalahpahami tentara Belanda sebagai letusan senjata api.
Di tahun 1940, Belanda semakin ketat mengatur penggunaan petasan. Hal ini diatur dalam Lembaran Negara Tahun 1940 no 41 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bunga Api 1939. Selain kurungan tiga bulan, pemain petasan juga dikenakan denda 7.500! Untung saja undang-undang yang masih dipakai hinga hari ini tersebut terus direvisi. Sehingga besarnya dendaan yang berlaku bisa disesuaikan dengan zaman.
Di tahun 1971 Presiden Soeharto juga sempat mengeluarkan larangan dan instruksi khusus soal petasan. Hanya petasan jenis "cabe rawit" dan "lombok merah" yang diperbolehkan. Gara-garanya? Telah jatuh puluhan korban jiwa gara-gara pesta petasan pada malam tahun baru 1971 yang diadakan oleh pemerintah kota Jakarta. Wow.
Dengan banyaknya pemberitaan tentang efek samping petasan—dan tentu saja banyaknya keluhan tentang petasan—harusnya membuat banyak pihak lebih waspada. Namun sayangnya, tetap saja petasan ini menjadi idola dalam setiap perayaan. Terbukti dengan tingginya permintaan dan tetap meningkatnya produksi petasan.'
Jika menurut Alwi Shahab petasan dulu berfungsi sebagai penanda hajatan, apakah sekarang masih relevan? Dan dalam tulisan S. Kusbiono tentang Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik Indonesia, diceritakan bahwa presiden pertama kita itu pernah berangan-angan bisa bermain petasan saat malam takbiran di masa kecilnya. Tentu saja karena saat itu bahan permainan masih sedikit.