Current Issues

18 Tahun Lalu, Komedian Sekaligus Aktivis Dono Warkop Meninggal Dunia

Surya Dipa Nusantara

Posted on December 30th 2019

Delapan belas tahun lalu, Indonesia berduka. Seorang komedian genius yang dikenal lewat kiprahnya bersama kolektif pelawak bernama Dono Warkop DKI pergi untuk selama-lamanya.

Pria berambut keriting dengan gigi tonggos itu bernama asli Wahyu Sardono. Salah satu komedian legendaris itu tanah air berpulang dengan damai setelah berjuang melawan kanker paru-paru.

Hari ini (30/12), kita memperingati delapan belas tahun kepergiaannya. Meskipun wajahnya tak pernah lagi menghiasi layar kaca kita, namun, karya-karya yang ia tinggalkan, terus menghibur kita sepanjang masa.

Nama Dono memang dibesarkan oleh dunia hiburan. Bersama dua kompatriotnya, Kasino dan Indro ia melanglangbuana bersama. Dari panggung-panggung kecil hingga layar lebar pernah mereka jajal.

Namun, tak hanya moncer dalam urusan mengocok perut, Dono juga dikenal aktif sebagai aktivis. Pada saat reformasi, Dono turun ke barisan bersama kawan-kawan Mahasiswa dan rakyat untuk menuntut Presiden Soeharto lengser dari jabatannya.

Sebelum menjadi komedian, Dono adalah seorang mahasiswa jurusan sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Ia aktif di sebuah organanisasi mahasiswa pecinta alam, dan kerap turut memandu diskusi yang diadakan oleh teman-teman sejawatnya.

Ia pernah berada di garis depan bersama massa aksi saat peristiwa Malari —Malapetaka 15 Januari— pada 1974. Pada peristiwa penolakan akan dominasi ekonomi Jepang di Indonesia itu, menurut kesaksian Kasino, Dono tampil menjadi salah satu orator.

Kisah itu ditulis oleh Rudy Balil dan Indro Warkop dalam buku Warkop Main-Main Jadi Bukan Main. Menurut kesaksian salah seorang wartawan, Budiarto Shambazy, Dono bahkan sempat dipopor senjata oleh tentara saat kejadian itu. Disaat kawan-kawan barisan tunggang langgang saat tentara meletuskan tembakan peringatan, Dono justru berlari menyongsong barisan aparat. Bersenjatakan selang hydrant, ia memukul balik para tentara Orde Baru dengan menyemprotkan senjatanya ke arah aparat.

"Dono memang nekat. Setiap kali berondongan senjata diarahkan ke kampus, dia malah menantang badai. Dengan wajah melas tapi kocak, dengan barisan giginya yang 'maju tak gentar', Dono dinobatkan mahasiswa menjadi penyemprot utama selang raksasa,” ucap Budi dalam buku itu.

Tak hanya itu, saat situasi Indonesia tengah mendidih di tahun 1998, Dono juga turun ke jalan dan membentangkan spanduk raksasa berisi protes kepada pemerintah saat itu.

Selain berpartisipasi di barisan massa aksi, Dono adalah otak dibalik strategi kunjungan ke Gedung DPR, Senayan, menyusun terms of reference, pamflet, dan siaran pers. Ia adalah salah satu mahasiswa yang paling aktif menuntut Soeharto untuk bertanggung jawab terhadap kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti yang ditembak oleh militer saat demonstrasi.

Rupanya, selang hydrant adalah senjata favorit dari Dono. Menurut kesaksian Budiarto, ia kembali membawa tabung gas itu dan menyemprotkan ke barisan aparat yang tengah berlindung dibalik tamengnya. Aparat hanya merespon dengan tersenyum dan geleng-geleng saja, dan beberapa terperangah dengan sikap Dono. Karena, saat itu nama Dono tengah menjadi primadona di industri film tanah air.

"Warkop menjadi elemen yang berperan cukup aktif pula mengkritik Orde Baru walaupun masih dalam batas-batas yang jinak melalui satir-satir politik," tulis Budiarto

Setelah tak lagi menjadi mahasiswa, Dono juga pernah menjadi dosen di Fakultas Sosiologi, Universitas Indonesia. Selain itu, ia juga sempat menjadi penulis novel. Total, ada sekitar 4 judul yang berhasil dirampungkan oleh Dono. Cemara-Cemara Kampus (1988), Bila Satpam Bercinta (1999) dan Dua Batang Ilalang (1999).

Namun, hanya Dua Batang Ilalang yang cukup populer. Novel ini mengkisahkan tentang seorang mahasiswa yang di drop out oleh kampusnya karena terlibat aksi menentang pemerintah. Sementara, satu novel lainnya dibuat setelah Dono Warkop meninggal dunia. Novel itu merupakan karya terakhir Dono Warkop, judulnya Senggol Kiri Senggol Kanan (2009).

Kepergian Dono tak hanya sebuah kerugian besar bagi jagad komedi tanah air. Lebih dari itu, Indonesia juga kehilangan salah satu sosok intelektual yang cerdas dan jeli dalam melancarkan kritik.

Salah satu kritik satir yang selalu disematkan oleh Warkop DKI di bagian akhir filmnya adalah: Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Sindiran itu, dimaksudkan kepada Orde Baru yang kerap memberangus karya yang julid pada pemerintahan. Sekaligus, Dono adalah bukti bahwa kecerdasan dan kritik bisa diungkapkan lewat berbagai jalan. Salah satunya adalah komedi.(*)

 

Artikel Terkait
Current Issues
Ibu Greta Thunberg Ungkap Perjuangan Putrinya Lawan Autisme di Buku Terbarunya

Entertainment
Review 'The Trial of the Chicago 7': Bentuk Nyata Kriminalisasi Aktivis

Current Issues
Tamansari Digusur, Ruang Kesenian Anak Muda Bandung Kian Sempit