![]() |
Posted on October 15th 2019 |
Sepak bola untuk semua. Apa pun agamanya, status sosialnya, etnisnya, maupun gendernya, semua sama di sepak bola. Semuanya setara. Sebab, setiap orang harus bisa menikmati sepak bola.
Untuk memperjuangkan kesetaraan dalam sepak bola, UEFA –induk sepak bola di Eropa- membuat kampanye bernama #EqualGame. Melalui seruan ini, UEFA menegaskan jika semua orang harus bisa menikmati sepak bola.
FIFA selaku otoritas sepak bola dunia juga membuat gerakan serupa. Namanya Living Football. Lewat aksi ini, FIFA menegaskan bahwa sepak bola lebih dari sekadar olahraga. Sepak bola adalah way of life. Sepak bola bisa merangkul semua kalangan.
Nah, di Iran selama ini hanya untuk satu gender: laki-laki. Tepatnya sejak terjadi revolusi Islam Iran tahun 1979. Sejak saat itu perempuan di Iran dilarang datang ke stadion untuk menyaksikan sepak bola.
“Para wanita di sana sebenarnya boleh nonton voli atau tenis. Atau olahraga apa pun. Asal bukan sepak bola. Masyarakat Iran agak sentitif dengan barang bundar yang disepak-sepak,” tulis mantan Ketua Umum Persebaya Surabaya, Dahlan Islan dalam blog pribadinya disway.id.
Setelah 40 tahun lamanya, federasi sepak bola Iran akhirnya membuka pintu stadion bagi suporter perempuan. Mereka diperbolehkan nribun guna menyaksikan tim nasional Iran melawan Kamboja di Azadi Stadium, Kamis (10/10) lalu.
Pertandingan Grup C kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia itu ditonton 15.823 orang. Sekitar 4.000 di antaranya adalah suporter wanita. Iran berhasil memenangkan game ini dengan skor fantastis, 14-0.
Terbukanya portal untuk suporter perempuan tak lepas dari kejadian sebulan sebelumnya. Yakni ketika seorang gadis 20 tahun bernama Sahar Khodayari membakar diri di depan pengadilan.
Khodayari saat datang ke stadion dengan pakaian biru-biru (kiri) dan saat dia dirawat usai membakar diri (kanan).
Luka bakarnyi sangat serius. Hingga 90 persen. Seminggu kemudian, Khodayari meninggal dunia.
Khodayari diadili karena nekat ke stadion untuk menyaksikan klub kebanggannyi, Esteghlal melawan Al Ain.
Khodayari menyamar sebagai laki-laki. Sayang, penyamarannyi terbongkar. Khodayari kemudian ditangkap, lalu ditahan.
Atas kenekatannyi, Khodayari terancam hukuman enam tahun. Dia dituduh melanggar dua peraturan. Pertama tentang larangan wanita ke stadion. Kedua, karena tidak mengenakan jilbab di depan umum.
“Sahar tidak sabar menunggu jalannya persidangan. Dia menjatuhkan vonis untuk dirinyi sendiri: membakar diri,” tulis Dahlan.
Kabar ini tersiar ke seluruh dunia. Khodayari terkenal dengan julukan Blue Girl. Julukan itu muncul karena saat datang ke stadion Khodayari menggunakan jersey biru-biru.
Atas kejadian itu FIFA mendesak federasi sepak bola, dan kementerian olahraga Iran menghapus aturan itu. Meski alot, upaya ini membuahkan hasil. Suporter perempuan di Iran bisa ke stadion untuk mendukung klub kesayangannyi.
Iran bukan satu-satunya negara yang pernah melarang suporter wanita datang ke stadion. Aturan ini pernah berlaku di Arab Saudi. Bukan hanya itu, wanita di Arab Saudi juga dilarang menyetir mobil. Kedua larangan itu akhirnya dihapus pada 2018 lalu.()