![]() |
Posted on June 8th 2018 |
Peringatan beberapa hari raya keagamaan di Indonesia selalu identik dengan kehadiran kue kering yang lezat itu. Mau beli jadi atau bikin sendiri, pokoknya stoples harus terisi agar menjamu tamu jadi lebih ngajeni. Tapi di balik sosoknya yang melengkapi hari raya, tahukah kalian kisah tradisi lintas generasi ini?
Budaya Barat
Seperti roti dan pastri, kue kering adalah budaya Eropa yang dibawa Belanda ke Indonesia. Nggak disajikan setiap hari, ia hanya ada pada hari-hari spesial para meneer dan mevrouw. Namun berkat lamanya era kolonialisme Belanda di Indonesia, tradisi ini pun lambat lalu terserap. Membentuk budaya baru, dan memperkaya kuliner nusantara dengan cita rasa butter, keju, dan tepung.
Kwartet Hari Raya
Kastengels adalah contoh kukis andalan dengan jejak Eropa yang kental. Berbau-bau Belanda, namanya ini mewakili bentuk dan komposisinya. Ia terinspirasi dari kaasstengels (kaas=keju dan stengles=batang) di Belanda. Tapi kastengels kita—not to be mistaken, this two words seem identical but they aren’t—nggak pakai puff pastry sebagai bahan adonannya. Melainkan butter, tepung, dan...keju. Nah, kesan Belandanya nggak hilang, kualitas keju yang dipakai pun jelas harus keju Belanda. Yakni keju Gouda.
Selain si kue keju, Nastar nggak ketinggalan meramaikan kontingen festive cookies. Nama kue bulat berisi nanas ini diduga akronim bahasa Belanda, ananas taartje, yang berarti kue nanas. Dilansir dari detikFood, pakar pastry Indonesia, Yongki Gunawan, menyebutkan bahwa nastar yang kita kenal adalah hasil salah kaprah dari kue nanas yang sesungguhnya. Sebab kue nanas yang asli merupakan cake, bukan kukis. “Kalau dimakan nastar (asli) teksturnya basah, harus chewy atau sedikit melempem ketika digigit,” ujarnya. Wah, mohon maaf nih, Pak. Ternyata orang kita sukanya sama yang salah kaprah. Karena selain terkenal di Indonesia, nastar kue kering juga beken di Malaysia dan Singapura. Terutama saat perayaan Lunar New Year, sebab nanas dipercaya sebagai simbol kekayaan, kemakuran, dan keberuntungan. Katanya, makin banyak filling nanasnya, makin banyak pula berkahnya.
Masih berbau Eropa, kue ketiga ini lebih terkenal nama bule-nya daripada nama lokalnya di kalangan orang tua kita. Dia adalah Katetong atau Lidah Kucing. Kue sederhana yang dalam bahasa Belanda disebut kattentongen ini ternyata berasal dari Prancis. Meski nggak diketahui siapa penemu pertamanya, kue bernama lain langue de chat ini dipercaya ada sejak abad ke-17.
Pelengkap kwartet kita, Putri Salju, punya cerita nggak kalah seru. Terinspirasi dari kue tradisional Jerman-Austria, vanillekipferls, kue adaptasi kita ini pun berbentuk bulan sabit (kipferls). Bukan tanpa sebab, bentuk ini adalah simbol kemenangan kerajaan Austria-Hungaria terhadap Turki Ottoman yang mengepung Wina pada 1529. That crescent shape, you know, resemble to the crescent moon on Turkish flag. Dari Eropa Tengah, kepopuleran putri salju merambah ke seluruh Eropa. Sampai Belanda bisa membawanya ke Indonesia, dan menyajikannya setiap Natal sebagaimana kebiasaan di Eropa sana. Putri salju di Eropa menggunakan almon atau hazelnut sebagai bahan. Tapi karena di sini nggak ada, orang Indonesia menggantinya dengan kacang mede.
Fiuh, panjang juga ya cerita di dalam stoples kue. Kini sambil kalian nikmati, coba deh cari kue kering populer lain yang bernama Krakelingen. Clue: dia adalah salah satu member kue kalengan bergambar serdadu!