Sport

Cerita di Balik Istilah Scourse dan Kebencian Liverpool pada Pemerintah Inggris

Louise Dewangga

Posted on March 13th 2023

Cerita di Balik Istilah Scourse dan Kebencian Liverpool pada Pemerintah Inggris

“We're Not English, We are Scouse”, kalimat dalam spanduk tersebut sering terpampang nyata ketika Liverpool berlaga di stadion Anfield. Masyarakat Liverpool mengklaim dirinya bukan bagian dari Inggris.

Mungkin sebagian orang belum mengetahui alasan kenapa orang-orang Liverpool berani mengklaim hal tersebut. Mereka akan tertawa, pasalnya wilayah Liverpool sendiri berada pada kawasan Inggris. Lalu mengapa mereka menganggap dirinya orang-orang scouse? Bukan Inggris?

Asal Usul Kata Scouse

Pada dasarnya istilah scouse merujuk pada makanan yang sangat digemari oleh kebanyakan orang, utamanya para pelaut. "Labskaus" sebuah stew asal Jerman yang kemudian orang-orang menyebutnya sebagai scouse.

Lambat laun menjadi aksen dan dialek Bahasa Inggris yang diasosiasikan dengan orang-orang Liverpool dan daerah sekitar Merseyside. Secara mudah memang begitu. Kota Liverpool merupakan kota pelabuhan terbesar kedua setelah London pada akhir abad ke-19.

Cerita di Balik Istilah Scourse dan Kebencian Liverpool pada Pemerintah Inggris

Kedekatannya dengan para pedagang dari luar Inggris membuat masyarakat Liverpool secara tidak langsung merasa berada di dunia yang terpisah dari Inggris. Karena menjadi tempat singgah pedagang dan pendatang utamanya orang Irish dan Welsh yang kemudian bercampur dengan orang Eropa lain membuat daerah Liverpool terus berkembang dan memilki dialek khas tersendiri.

Menjadi kota pelabuhan, Liverpool dikenal akan kekayaan budaya yang dimiliki. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari singgahnya para pedagang, perantau, dan kegiatan-kegiatan lain yang membuat kota ini begitu plural dan multikultur.  Menjadi sebuah entitas yang memberi warna beragam bagi kota Liverpool. Bahkan pada 2008, Liverpool memegang gelar ibu kota budaya Eropa (European Capital of Culture).

Alasan Warga Liverpool Tidak Mengasosiasikan Diri Sebagai Warga Inggris

Pada abad ke-20 Liverpool bagaikan kota yang kehilangan nyawanya. Perekonomian dan industri mereka merosot. Pada saat Margaret Thatcher memimpin kursi pemerintahan sebagai Perdana Menteri, beliau dan partai konsertvatif (partai pengusung) acuh tak acuh terhadap penurunan industri konservatif. Dengan pluralnya kondisi sosial di wilayah Liverpool jelas hal tersebut mempengaruhi mengenai pandangan politik warganya.

Identik dengan kota pelabuhan, masyarakat Liverpool menerima seluruh pendatang yang ingin hidup berdampingan dengan mereka. Partai buruh sayap kiri menjadi pilihan yang selalu diamini untuk menyampaikan aspirasi bagi sebagian besar warga yang tinggal di kota ini.

Baca juga:  North West Derby Ternyata Bukan Sekadar Laga Sepak Bola Pada Umumnya

Jika kota-kota lain dengan mudah dikontrol dan memilih untuk tunduk terhadap rezim atau penguasa, Liverpool jelas tidak seperti itu. Inilah yang membuat Liverpool dikucilkan di Inggris. Mereka kerap mendapat perlakuan tak adil dari pemerintah, hingga paling parah dianggap musuh besar orang-orang koservatif.

Hal inilah yang membuat warga kota Liverpoool merasa tidak pernah benar-benar mendapat dukungan dari pemerintah. Menjadi penyebab mengapa mereka lebih senang mengakui diri sebagai scouse ketimbang orang Inggris.

Cerita di Balik Istilah Scourse dan Kebencian Liverpool pada Pemerintah Inggris

Kebijakan-kebijakan Margaret Thatcher menjadi penyebab pengangguran dan kemiskinan yang nelangsa di dalam kota. Tidak selesai sampai di situ, respon sang Perdana Menteri terhadap Tragedi Heysel dan Hillsborough menjadi pelecut amarah warga Liverpool.

Margaret Thatcher tidak pernah sekalipun mencoba tergerak untuk mengusut tuntas mengenai Tragedi Hillsborough. Beliau malah memiliki asumsi kejadian tersebut tidak akan pernah terjadi seandainya para pendukung Liverpool tidak membuat onar.

Sepak Bola Sebagai Kendaraan Warga Liverpool Mengekspresikan Kekecewaan Terhadap Pemerintah Inggris   

Cerita di Balik Istilah Scourse dan Kebencian Liverpool pada Pemerintah Inggris

Dan sepak bola menjadi media mereka untuk menyampaikan suara-suara parau pinggir kota. Mereka yang tidak mendapat perlakuan sebagai kota dengan semestinya.

Hingga puncaknya adalah mereka selalu mengambil sikap acuh tak acuh ketika lagu nasional God Save The Queen berkumandang. Penggalan lirik yang berbunyi "God save our gracious Queen, long live our noble Queen/send her victorious, happy and glorious, long to reign over us." Dirasa tidak relevan bagi warga Liverpool yang sangat amat dirugikan.

Cerita di Balik Istilah Scourse dan Kebencian Liverpool pada Pemerintah Inggris

Hal inilah yang tak kita temui di teras sorak lain. Sebuah spanduk dengan tulisan “We’re Not English, We're Scouse" yang selalu terpampang di Anfield. Menjadi representasi mengenai nasionalisme dan patriotisme warga Liverpool itu sendiri.

Mungkin sebagai kota Liverpool telah berubah drastis. Namun mereka masih tetap sama dan berpegang teguh pada nilai-nilai sosial, prestasi olahraga dan pluralisme-nya. Pengabaian dan ketidaksukaan warga kota terhadap pemerintah yang tidak pernah mendukung mereka masih tetap ada hingga saat ini.(*)

Foto: Unherd, The Irish Time, Goal.com, The42

Artikel Terkait
Sport
North West Derby Ternyata Bukan Sekadar Laga Sepak Bola Pada Umumnya

Sport
Leeds Nyaris Bikin Sulit Liverpool, Salah Hattrick!

Sport
Fans Liverpool di Seluruh Dunia Sedang Berbahagia