Current Issues

Percayalah, Bullying Itu Penyakit!

Nizar Fahmi

Posted on October 22nd 2018

Banyak orang bilang kalau ‘masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah’. But sorry guys, it isn’t for me. Saya malah senang banget karena sekarang udah nggak ada lagi di-neraka-sementara itu. Ngeri!

Iya, beberapa tahun lalu bully sempat menjadi penghancur keceriaan saya, terutama saat masih duduk di bangku SMP. Tiga tahun berturut-turut, dari kelas tujuh sampai sembilan, saya sering merasa benci dengan kata keadilan. Kenapa? Yaaa…karena itu nggak berlaku gengs, mitos tok.

Kalau kamu bilang ini lebay, coba deh pikirkan lagi. Dipanggil (maaf) bab*, berua*ng, batu, om-j*n, is that suitable for lebay word? Terus dipukulin, diejekin depan orang banyak, nama ortu diinjak, fitnah bertebaran, hmmm *mendadak ngelap air mata dibuat*. Bagi kami sang korban bully, nggak ada hal yang bisa menghapus kenangan buruk tersebut. Terlalu sakit dan susah untuk dihilangkan.

Dear para pem-bully, you are sick!

Ini serius. Sebab dilansir dari detikhealth.com, beberapa peneliti dari Brown University menyatakan bahwa pelaku bully memiliki masalah terhadap kesehatan mental. Mereka berpeluang hingga enam kali lebih besar untuk meningkatkan rasa depresi, cemas, dan ‘suka menarik perhatian’ dibandingkan orang normal.

Menariknya, para tukang bully sebenarnya bukanlah mereka yang berasal dari golongan yang terasingkan. Mereka malah dicap sebagai ‘kaum-popular’ cuy. Hanya saja bullyer memang sering merasa kesepian, sehingga akhirnya mereka mem-bully untuk mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya. Fakta ini didapatkan oleh psychologytoday.com di saat mereka mewawancarai Janna Juvonen yang merupakan seorang Psikolog dari University California-Los Angeles.

Selain itu, merasa ‘iri’ juga menjadi one of the biggest factors for bullyer to do this. Nggak puas sama apa yang sudah dimiliki biasanya membuat pelaku bully merasa insecure. Disaat itulah meraka marah lalu melancarkan aksi ‘jahat’ yang berkedok ‘cuma bercanda’. Parahnya, bullyer nggak sendirian. Mereka menyiksa orang lain dengan berkelompok agar pekerjaannya menjadi lebih mudah. “Cause we have the power”, pikir mereka seperti itu.

Penyakit mental lainnya yang dimiliki oleh para bullyer adalah, narsisme, sadist, psikopat, atau pun machiavellianism, yang sering diartikan sebagai egois. Pelaku biasanya terlalu fokus dengan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan nasib orang lain. Mereka pun nggak ragu untuk memanipulasi, menipu, hingga memalsukan.

Tapi tahukah kamu di saat sang bullyer beraksi, sesunggunya mereka tengah melakukan balas dendam lho. Ini sesuai dengan apa yang telah dirumuskan oleh Alan Hilfer yang merupakan Kepala Psikolog Maimonedes Medical Center di Brookyn, New York. “Perilaku Bully seringkali merupakan pelampiasan kekerasan sosial yang dialami oleh pelakunya sendiri”, ucap Hitler.

Oke, jadi (sebagian dari) bullyer melakukan bully sebagai bentuk pelampiasan di masa lampau. That’s the point gengs. Sayangnya mengapa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan sih? Kita jadi nggak ada bedanya kan sama orang jahat itu?

Nah berarti ada masalah lain di kasus bully-mem-bully yang nggak pernah selesai ini. Tahu nggak di mana? Jawabannya adalah ‘di cara edukasi oleh orang-orang terdekat’. Selama ini dalam kasus bully, yang selalu mendapatkan rasa iba dan belas kasihan pasti si korban. Sedangkan sang pelaku seperti terus dibiarkan melakukan hal buruk itu. Seandainya edukasi mengenai bahayanya bully diberikan kepada siapapun yang terlibat, mereka bisa saja menjadi jera kok.

Misal nih memberi tahu kalau setiap aksi bully dapat dihukum penjara 3 sampai 6 tahun dan/atau denda Rp. 72 Juta (sanksi ini sesuai dengan UU Perlindungan Anak Tahun 2014). Yakin deh setelah tahu hukumannya, bullyer pasti mikir dua kali sebelum beraksi. Jangan lupa juga untuk menjelaskan dampak buruk ke depannya bagi pelaku maupun korban bully. Edukasinya pun harus dilakukan terus menerus, nggak cukup kalau hanya sekali.

Jika dibiarkan, kasus bully akan semakin menjamur. Di Indonesia saja angka bullying sudah dikategorikan tinggi lho. Negara kita berada di peringkat kedua di bawah Jepang dengan total lebih dari 1000 kasus pada tahun 2017 lalu. Cuy, citra Indonesia yang dikenal sebagai negara paling ramah di dunia seketika runtuh karena posisi tersebut.

We can't let this case running continuously. Penyakit ini harus dibasmi bersama. Diperlukan juga kesadaran dari para korban bahwa ‘anggap saja bully ini menjadi latihan mental bagi kamu’. Sedangkan untuk para pelaku, nggak ada manusia yang sempurna termasuk kamu sendiri. Just stop your habit please. Sembuhkan dirimu sekarang juga sebelum semua terlambat. Jangan berhentinya ketika nanti si-dia yang suka kamu bully udah bunuh diri ya, hehe.

And for those of you who have done it to me, mari kita berteman lagi. Karena saya sudah memaafkan kalian sejak Presiden Jokowi belum menjabat, J.

Artikel Terkait
Interest
Sosiolog Sebut Akses Tidak Terbatas Pada Medsos Picu Perundungan Anak

Lifestyle
Dampak Menyeramkan Bullying dan Bagaimana Cara Jadi Support System Korban

Lifestyle
5 Hal Yang Harus Kita Lakukan Ketika Dibully Oleh Teman Sekolah