![]() |
Posted on November 15th 2022 |
Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap kesehatan mental pada anak muda. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya tingkat kecemasan, depresi, dan tekanan psikologis selama masa pandemi.
Bahkan sebuah studi dari peneliti Cambridge menemukan bahwa kurangnya akses ke komputer berkaitan dengan kesehatan mental yang lebih buruk pada anak muda dan remaja selama lockdown Covid-19.
Dilansir dari Medical Xpress, tim menemukan bahwa akhir 2020 merupakan waktu ketika kaum muda menghadapi kesulitan yang paling besar. Selain itu, kesehatan kaum muda yang tidak memiliki akses ke komputer cenderung lebih memburuk dibanding teman mereka yang punya akses.
Masa remaja sendiri merupakan periode ketika orang sangat rentan terhadap perkembangan gangguan kesehatan mental, yang dapat memiliki konsekuensi jangka panjang hingga dewasa. Di Inggris, kesehatan mental anak-anak dan remaja sudah memburuk sebelum pandemi.
Namun proporsi orang dalam usia kelompok ini yang mungkin mengalami gangguan kesehatan mental meningkat dari 11 persen pada 2017 menjadi 16 persen pada juli 2020.
Karena pandemi, sekolah ditutup dan pembelajaran online semakin banyak. Dampak dari aktivitas ini ternyata tidak merata pada semua siswa. Remaja yang tidak punya akses ke komputer memiliki gangguan terbesar.
Dalam sebuah penelitian, 30 persen siswa sekolah dari keluarga kelas menengah melaporkan mengikuti pejalaran sekolah secara live atau direkam setiap hari. Sementara hanya 16 persen siswa dari rumah tangga kelas pekerja yang melakukannya.
Selain penutupan sekolah, lockdown sering kali membuat kaum muda tidak dapat bertemu langsung dengan teman mereka. Selama periode ini, bentuk interaksi online dan digital dengan teman sebaya, seperti dengan video game dan sosial media, kemungkinan besar telah membantu mengurangi dampak gangguan sosial ini.
“Akses ke komputer berarti bahwa banyak anak muda masih bisa menghadiri sekolah secara virtual, melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang lebih tinggi untuk memperluas dan setara dengan teman-temannya. Tetapi mereka yang tidak memiliki akses ke komputer akan berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan, yang hanya meningkatkan rasa keterasingan mereka,” ujar Tom Metherell, yang pada saat penelitian merupakan seorang mahasiswa sarjana di Fitzwilliam College, University of Cambridge.
Untuk memeriksa secara rinci dampak kurang akses digital pada kesehatan mental pada anak muda, Metherell dan rekannya meneliti data dari 1.387 anak berusia 10 sampai 15 tahun yang dikumpulkan sebagai bagian dari Understanding Society, sebuah survei longitudinal berskala besar di Inggris.
Mereka berfokus pada akses ke komputer dibanding telepon pintar. Hal ini karena sebagian besar tugas sekolah hanya bisa dilakukan di komputer dan pada usia ini sebagian besar interaksi sosial terjadi secara langsung di sekolah.
Dalam studi yang dipublikasikan di Scientific Reports, peserta menyelesaikan kuesioner yang menilai kesulitan psikologis masa kanak-kanak. Hasil kuesioner ini memungkinkan tim Understanding Society menilai mereka di lima bidang: hiperaktif/kurang perhatian, perilaku prososial, emosional, perilaku dan amsalah hubungan temans ebaya. Dari sini, mereka memperoleh “Skor Kesulitan” untuk setiap individu.
Selama pandemi, peneliti mencatat perubahan kecil dalam keseluruhan kesehatan mental pada kelompok. Skor Total Kesulitan rata-rata meningkat dari tingkat pra-pandemi 10,7 (dari maksimum 40), melonjak jadi 11,4 pada akhir 2020 sebelum akhirnya turun jadi 11,1 pada Maret 2021.
Anak muda yang tidak punya akses ke komputer mengalami peningkatan terbesar dalam skor Total Kesulitan. Kedua kelompok anak muda memiliki kesamaan skor pada awal pandemi. Tetapi ketika dimodelkan dengan penyesuaian faktor sosiodemografi, mereka yang tidak memiliki akses komputer mengalami peningkatan skor rata-rata menjadi 17,8 dbanding dengan kelompok sebayanya yang meningkat menjadi 11,2.
Hampir satu dari empat anak muda (24 persen) dalam kelompok yang tidak memiliki akses komputer memiliki skor Total Kesulitan yang digolongkan sebagai “tinggi” atau “sangat tinggi” dibandingkan dengan satu dari tujuh (14 persen) pada kelompok yag punya akses komputer.
“Kesehatan mental kaum muda cenderung paling sulit selama lockdown ketat, ketika mereka cenderung tidak bisa ke sekolah dan bertemu teman. Tetapi mereka yang tidak punya akses komputer paling terpukul, kesehatan mental mereka lebih menderita dibanding temna-temannya dan perubahannya lebih dramatis,” ujar Matherell.
Amy Orben dari Medical Research Council (MRC) Cognition and Brain Sicences di University of Cambridge yang merupakan penulis senior studi tersebut mengatakan dibanding selalu fokus pada efek buruk teknologi digital pada kesehatan mental anak muda, kita juga perlu mengenali bahwa itu dapat memiliki manfaat penting dan bisa bertindak sebagai penyangga kesehatan mental selama masa isolasi sosial, seperti lockdown.
Foto: Pixabay