![]() |
Posted on September 26th 2022 |
Ada jutaan orang didunia yang mengalami gangguan kecemasan. Meski begitu, kondisi ini masih sering disalahpahami. National Alliance on Mental Illness memperkirakan ini disebabkan karena kebanyakan orang mengalami kecemasan dari waktu ke waktu.
Hidup itu penuh tekanan, dan itu normal untuk merasa cemas tentang peristiwa besar atau ketika banyak hal terjadi. Namun gangguan kecemasan itu kompleks. Dilansir dari Prevention, berikut lima mitos umum dan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan pada kecemasan.
Mitos 1 Kecemasan hanya dalam pikiran
Fakta: Karen Surowiec, Psy.D, seorang psikolog di Manhattan Psychology Group mengatakan kecemasan menyebabkan respon fisik yang sangat nyata dan sering kali tidak diketahui. Misalnya seperti gemetar, nyeri dada, jantung berdebar, mual, dan pusing.
Hal ini dikarenaka ketakutan dan kecemasan menyebabkan tubuh memberi respon melawan atau lari, melepaskan hormon yang membuat otot tegang dan detak jantung serta napas jadi lebih cepat.Otak dan usus juga memiliki hubungan yang sama. Itu sebabnya rasa gugup bisa mengganggu perut dan sakit perut bisa membuat gugup.
Sebuah studi menemukan 44 persen orang dengan iritable bowel syndrome (IBS) memiliki kecemasan dibanding hanya 8 persen tanpa IBS. Itu berarti bahwa bahkan jika ketakutan yang kita miliki tidak menjadi nyata, itu bisa menyebabkan reaksi fisik yang nyata.
Mitos 2: Kecemasan itu hanya kekhawatiran berlebihan
Fakta: Kekhawatiran adalah bagian dari kecemasan, tetapi itu bukan segalanya. Kekhawatiran biasa cenderung terkait dengan ketakutan spesifik dan realistis seperti kehilangan pekerjaan atau ketinggalan penerbangan.
Sementara kecemasan, mungkin tidak didasarkan pada ketakutan rasional dan menciptakan tekanan emosional yang ekstrim yang dapat dirasakan tubuh. Aaron Telnes, psikolog di College of Alverta Psychologist mengatakan beberapa kecemasan itu baik. Tetapi ketika ini mengganggu fungsi sehari-hari, itu bisa didiagnosis sebagai gangguan.
Terkadang ketakutan tidak spesifik atau terus menerus dirasakan meski apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Telnes mengatakan jika kecemasan telah mengganggu performa di sekolah, tempat kerja, atau rumah selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, ini saatnya untuk mencari terapi.
Mitos 3: Kita harus menghindari situasi yang membuat cemas
Fakta: Haley Neidich, L.C.S.W mengatakan meskipun ini reaksi alami, menghindar bisa memperburuk kecemasan. Kecemasan akan memaksa untuk dirasakan dan bersembunyi darinya dapat memiliki efek sekunder.
“Entah itu dalam hubungan, menunda-nunda, maupun menghindari interaksi sosial atau tagihan semua memiliki konsekuensi serius, ”katanya.
Faktanya, pengobatan umum untuk kecemasan adalah kebalikan dari menghindar, yakni terapi paparan. Telnes mengatakan cara kerjanya dengan membantu orang mendekati ketakutan mereka di lingkungan yang aman sehingga mereka belajar bahwa itu bisa ditangani.
Mitos 4: Kecemasan sosial sama dengan rasa malu
Fakta: Rasa malu lebih merupakan ciri kepribadian, sedangkan kecemasan sosial adalah gangguan. Meskipun rasa malu bisa membuat tidak nyaman, gangguan kecemasan sosial (SAD) bisa melemahkan.
Ketika merasa malu, kita mungkin merasa sulit untuk berbicara dengan orang yang tidak dikenal atau menjadi pusat perhatian. Tetapi saat mengalami SAD, kita takut diawasi, dihakimi, atau dipermalukan dan mungkin takut atau menghindari situasi sosial selama berbulan-bulan.
Menurut National Institute of Mental Health, kegugupan yang terkait dengan rasa malu bisa menyebabkan gejala fisik seperti telapak tangan berkeringat dan tangan gelisah. Sementara orang dengan SAD mungkin memiliki respons ketakutan tambahan yang lebih besar seperti kekakuan tubuh dan perasaan pikiran mereka “kosong”.
Untungnya, penelitian menunjukkan bahwa orang dengan SAD yang diobati dengan terapi perilaku kognitif (CBT) dapat memiliki tingkat pemulihan hampir 70 persen.
Mitos 5: Bisa diatasi dengan mudah
Fakta: Sama seperti seseorang yang tidak dapat "kabur" dari kanker atau diabetes, hal yang sama berlaku untuk kecemasan. “Mentalitas itu berakar pada stigma kesehatan mental dan penolakan gangguan kesehatan mental sebagai masalah medis nyata,” kata Neidich.
Menurutnya, meskipun terkadang sehat untuk sementara mengesampingkan perasaan cemas untuk melewati situasi yang menantang, menyangkal atau menekan kecemasan bukanlah rencana jangka panjang. Melakukan hal itu dapat mengakibatkan dampak seperti penyalahgunaan zat, kondisi kesehatan kronis, hubungan disfungsional, dan insomnia.
“Jika kalian ingin merasa lebih baik, kecemasan harus diakui, rasakan perasaan kalian, dan pelajari mekanisme koping,” tambah Neidich.
Itu bisa termasuk teknik pengurangan stres seperti olahraga; membuat jurnal; latihan relaksasi seperti pernapasan dalam, meditasi, dan yoga; dan CBT, yang dapat membantu kalian menantang reaksi dan ketakutan. Selain itu temukan juga cara yang lebih sehat dan positif untuk mengatasinya. (*)
Foto: Pixabay