![]() |
Posted on September 24th 2022 |
Dear ladies, apakah akhir-akhir ini kalian merasakan kecemasan, kekhawatiran, dan kesedihan, yang lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya? Kalian tidak sendiri. Pasalnya, sebuah studi mengungkap bahwa tingkat stres, kecemasan, kekhawatiran, kesedihan, dan kemarahan pada wanita di seluruh dunia berada pada level tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Dilansir dari USA Today, salah satu studi terbesar tentang kesejahteraan wanita ini dilakukan oleh firma analitik Gallup dan perusahaan teknologi medis Hologic, Inc. Mereka bekerja sama untuk mensurvei lebih dari 66.000 wanita di 122 negara di seluruh dunia.
Hasilnya, 43 persen responden mengatakan mereka mengalami kekhawatiran pada tahun 2021, 41 persen melaporkan merasa stres, 32 persen melaporkan merasa sedih, dan 26 persen melaporkan merasa marah.
Dibandingkan dengan tahun 2020, kekhawatiran, stres, dan kemarahan di kalangan wanita naik 3 persen, sementara kesedihan naik 6 persen. Angka-angka tersebut merupakan rekor tertinggi sejak Indeks Kesehatan Wanita Global Hologic mulai melacak kesehatan emosional satu dekade lalu.
“Kurangnya kemajuan dan dalam beberapa kasus momentum kemunduran, membenarkan seruan yang lebih keras bagi para pemimpin dunia untuk berbuat lebih banyak bagi wanita, yang kesejahteraannya menopang kesehatan keluarga, komunitas, masyarakat, dan ekonomi,” kata presiden Hologic dan CEO Steve MacMillan.
Penulis studi juga menemukan kesenjangan gender dalam kesehatan emosional antara pria dan wanita telah melebar dalam satu tahun terakhir. Pasalnya, 39 persen pria melaporkan merasa khawatir, 39 persen stres, 26 persen mengalami kesedihan, dan 21 persen marah.
Pakar kesehatan mental mengatakan laporan itu menunjukkan bagaimana perempuan secara tidak proporsional memikul beban emosional pandemi karena banyak keluarga menghadapi ketidakamanan pekerjaan, tempat tinggal yang tidak stabil, dan gangguan pada layanan medis dan perawatan anak.
Pandemi membuat pria dan wanita berbondong-bondong meninggalkan pekerjaan mereka, tetapi penelitian menunjukkan pria lebih cepat kembali ke dunia kerja. Sebuah survei tahun 2021 dari Kaiser Family Foundation juga menemukan banyak wanita berhenti dari pekerjaan mereka atau mengambil cuti sakit tanpa dibayar dengan alasan penutupan sekolah atau tempat penitipan anak.
Pakar kesehatan mengatakan perempuan juga terpengaruh secara tidak proporsional oleh meningkatnya tingkat kekerasan dalam rumah tangga. American Journal of Emergency Medicine menemukan kasus telah meningkat 25 persen menjadi 33 persen secara global.
“Semua hal ini bercampur,” kata Dr. Sofia Noori, salah satu pendiri Women Mental Health Conference dan instruktur klinis di departemen psikiatri Universitas Yale. "Jika kita terus-menerus dihadapkan pada situasi stres ... sistem saraf tidak memiliki kesempatan untuk turun sehingga kita terus-menerus dalam keadaan melawan atau melarikan diri (flight or fight)."
Pakar kesehatan mengatakan mengalami stres yang intens untuk jangka waktu yang lama tanpa memiliki akses ke sumber daya untuk mengatasi stres tersebut dapat menyebabkan stres beracun atau kronis. Menurut Yale Medicine, studi menunjukkan stres kronis telah dikaitkan dengan kondisi psikologis dan fisik lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, obesitas, diabetes, depresi, dan kecemasan.
Foto: Pixabay