![]() |
Posted on August 1st 2022 |
Sebuah studi baru yang dipimpin UC San Francisco yang diterbitkan di Journal of Child Psychology and Psychiatry menemukan bahwa remaja yang menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar (screen time) memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan perilaku yang mengganggu. Dan media sosial memiliki pengaruh yang paling kuat.
Dilansir dari Medical Xpress, penggunaan media sosial paling mungkin dikaitkan dengan gangguan perilaku. Sementara bentuk penggunaan layar lainnya - seperti menonton video dan televisi, bermain video game, dan mengirim pesan teks - lebih mungkin dikaitkan dengan oppositional defiant disorder (ODD).
Gangguan perilaku ditandai dengan melanggar hak-hak dasar orang lain atau aturan sosial dengan tindakan seperti bullying, vandalisme dan mencuri. Sedangkan ODD ditandai dengan pola suasana hati marah atau mudah tersinggung, perilaku argumentatif atau menantang, dan dendam.
Dalam studi ini, peneliti mengumpulkan data tentang penggunaan layar, kemudian dievaluasi terkait gangguan perilaku satu tahun kemudian. Hasilnya, setiap jam membuka media sosial dikaitkan dengan prevalensi gangguan perilaku 62 persen lebih tinggi. Sementara televisi, video game, panggilan video, dan SMS dikaitkan dengan prevalensi ODD 14 persen hingga 21 persen lebih tinggi.
"Platform media sosial dapat mendorong perundungan dan agresi, yang dapat berkontribusi pada perkembangan gangguan perilaku pada anak-anak," kata Jason Nagata, MD, penulis utama studi dan asisten profesor pediatri di UCSF.
"Anak-anak dapat terpapar konten kekerasan di media sosial melalui iklan meskipun mereka tidak mencarinya," kata Nagata. "Jika anak-anak mencari konten kekerasan, algoritme akan memberi umpan balik konten yang lebih mengganggu dan anak-anak dapat terjebak dalam siklus toksisitas."
Dia menambahkan, di sisi lain, menonton film dan bermain video game dapat menggantikan jam tidur dan aktivitas fisik serta mengurangi dukungan sosial. Ini mungkin dapat menjelaskan kaitannya dengan ODD.
Dalam studi terbaru lainnya, Nagata dan rekan menemukan bahwa remaja begitu terikat dengan ponsel mereka, peralatan utama untuk screen time. Para remaja melaporkan lupa waktu saat menggunakan ponsel mereka (47,5 persen) dan akan mengganggu apa pun yang mereka lakukan ketika terhubung dengan gawai (31 persen).
Studi cross-sectional sebelumnya telah menemukan hubungan antara waktu layar dan gangguan perilaku. Tetapi mereka tidak membedakan antara jenis penggunaan layar atau hanya memeriksa satu jenis, seperti video game.
Studi prospektif saat ini meneliti hubungan antara beberapa jenis waktu layar dan perilaku dalam sampel nasional yang beragam secara demografis dari 11.875 anak usia 9 hingga 11 tahun.
Hasilnya, rata-rata jumlah screen time adalah empat jam per hari, dengan waktu paling banyak dihabiskan untuk menonton/streaming acara TV/film (rata-rata 1,3 jam), bermain video game (1,1 jam), dan menonton/streaming video (1 jam).
Faktanya, menatap layar empat jam sehari adalah ambang batas. Waktu di atas empat jam dikaitkan dengan prevalensi gangguan perilaku 69 persen lebih tinggi dan prevalensi ODD 46 persen lebih tinggi.
"Beberapa pedoman merekomendasikan untuk membatasi waktu rekreasi di depan layar hingga dua jam per hari, tetapi ini mungkin tidak realistis bagi banyak remaja," kata Nagata. "Melebihi empat jam waktu layar setiap hari dapat menyebabkan perilaku mengganggu melalui paparan konten berbahaya atau menjadi kecanduan layar."
Untuk menilai gangguan perilaku, peneliti meminta orang tua dan pengasuh untuk menyelesaikan Kiddie Schedule for Affective Disorders and Schizophrenia (KSADS-5), alat komputerisasi untuk mengkategorikan masalah kesehatan mental anak dan remaja. Hal ini dilakukan setahun setelah anak-anak mereka melaporkan penggunaan layar.
Hasilnya, mereka menemukan 1,9 persen dari anak-anak memenuhi kriteria untuk munculnya gangguan perilaku baru (1,1 persen anak perempuan dan 2,8 persen anak laki-laki). Temuan lain yakni 6,3 persen memenuhi kriteria untuk munculnya oppositional defiant disorder baru (4,7 persen anak perempuan dan 7,9 persen anak laki-laki).(*)
Foto: Pixabay