![]() |
Posted on July 20th 2022 |
Vaksin suntik untuk melawan virus Corona berhasil menyelamatkan jutaan nyawa di dunia. CNN melaporkan sebuah studi mengungkap jika di tahun pertama penggunanaannya, hampir 20 juta nyawa berhasil diselamatkan dan memangkas angka kematian pandemi sekitar 63 persen. Meski begitu, vaksin suntikan tidak menghentikan penularan Covid-19 dari orang ke orang.
Mutasi virus yang terjadi terus menerus membuatnya jadi memiliki kemampuan untuk menghindari kekebalan. Para produsen vaksin pun berlomba-lomba untuk memperbarui formula vaksin suntikan generasi pertama agar lebih bisa memberi perlindungan.
Di sisi lain, sejumlah ilmuwan juga sedang mengembangkan vaksin yang diberikan melalui semprotan hidung atau tablet. Harapannya, ini akan menghasilkan lebih banyak perlindungan kekebalan ke garis pertahanan depan tubuh: mulut, hidung, dan tengorokan. Tempat virus ini biasanya masuk.
“Harapannya adalah untuk menyokong pertahanan di hidung sehingga virus bahkan tidak bisa bereplikasi di hidung,” ujar Dr. Ellen Foxman, ahli imunologi di Yale School of Medicine. “Dan seseorang yang mendapatkan vaksinasi mukosa yang sangat efektif tidak akan bisa menyebarkan virus ke orang lain karena virus tidak dapat bereplikasi.”
Jika ini berhasil, ada harapan bahwa kekebalan mukosa dapat memperlambat perkembangan varian virus Corona baru dan akhirnya mengendalikan pandemi Covid-19. Tetapi, masih ada jalan panjang yang harus ditempuh sebelum sampai di sana.
Gagasan dibalik vaksinasi mukosa bukan hal baru. Sudah ada sembilan vaksin yang bekerja dengan cara ini, termasuk obat tetes mulut yang melindungi dari polio, kolera, salmonella, dan rotavirus. Serta semprotan hidung, FluMist, yang diinokulasi melawan flu.
Sebagian besar vaksin tersebut menggunakan teknologi lama. Menggunakan versi virus atau bakteri yang sudah mati atau dilemahkan untuk mengajari tubuh bagaiaman cara mengenali dan melawan saat infeksi sesungguhnya terjadi. Karena menggunakan patogen asli, jenis vaksin ini tidak bisa digunakan untuk semua orang.
Bisakah vaksin semprot hidung menghadang varian baru?
Lebih dari selusin vaksin semprot hidung untuk melawan Covid-19 sedang diuji di seluruh dunia. Banyak yang menggunakan jenis teknologi baru, termasuk teknologi mRNA yang sukses dalam pengembangan vaksin Covid-19 berbentuk suntikan.
Vaxart bahkan telah membuat vaksin berbentuk tablet. Tablet ini menggunakan teknologi adenovirus seperti yang digunakan oleh vaksin Covid Johnson & Johnson dan AstraZeneca.
Tablet ini memiliki ukuran dan bentuk mirip aspirin. Cara kerjanya adalah dengan memanfaatkan adenovirus untuk mengirimkan intruksi kepada sel-sel di usus untuk membuat bagian dari tonjolan protein SARS-Cov-2, yang merangsang pelepasan antibodi di hidung dan mulut.
Dalam pengujian pada hewan, hamster yang divaksinasi di hidung atau mulut cenderung tidak menyebarkan infeksi SARS-Cov-2 ke hewan yang tidak terinfeksi yang berada di kandang terpisah tetapi berbagi udara yang sama.
“Apa yang kami temukan adalah jika kalian melakukan imunisasi oral, itu menghambat kemampuannya untuk menginfeksi hewan lain,” ujar Sean Tucker, kepala ilmuwan untuk Vaxart.
Dalam uji coba awal yang melibatkan 35 peserta, 46 persen mengalami peningkatan antibodi di hidung mereka setelah mengonsumsi vaksin tablet. Mereka yang melakukannya tampaknya mempertahankan perlindungan itu selama sekitar satu tahun.
Saat ini, uji coba fase dua dengan melibatkan hampir 900 peserta sedang berlangsung. Direncanakan akan selesai musim panas mendatang.
Vaksin mukosa yang kini dikembangkan mayoritas dirancang untuk diberikan sebagai semprotan cairan atau mist ke hidung. Vaksin tersebut banyak dibuat untuk digunakan sebagai booster pada orang yang sudah mendapat vaksinasi Covid lengkap.
"Saya tidak menganggapnya sebagai vaksin hidung. Saya menganggapnya sebagai booster hidung," kata Jennifer Gommerman, seorang ahli imunologi di University of Toronto yang berspesialisasi dalam kekebalan spesifik jaringan. Gommerman menambahkan, hal ini penting karena vaksin hidung seperti FluMist, belum benar-benar bekerja dengan baik.
Dia mengatakan, generasi berikutnya dari inokulasi akan menjadi sesuatu yang berbeda. Mereka dibangun di atas kekebalan seluruh tubuh yang diciptakan oleh suntikan dan hanya akan memindahkannya ke hidung dan tenggorokan, di tempat yang paling membutuhkannya.
"Tapi di sini, kita sebenarnya berbicara tentang hal lain, di mana kita berbicara tentang membangun kekebalan sistemik yang diinduksi oleh vaksin ketiga suntikan mRNA dan kemudian melatih kekebalan sistemik itu untuk masuk ke saluran pernapasan bagian atas dengan booster melalui hidung, "kata Gommerman.
Salah satu pendekatan tersebut baru-baru ini diuji oleh Akiko Iwasaki, seorang ahli imunobiologi di Universitas Yale. Menurut studi pracetak mereka, Iwasaki dan timnya menginokulasi tikus dengan dosis rendah vaksin Comirnaty mRNA Pfizer.
Dua minggu kemudian, tikus diberi booster dengan vaksin mRNA yang diberikan melalui semprotan hidung. Dosis rendah vaksin yang disuntikkan dimaksudkan untuk mensimulasikan berkurangnya kekebalan. Kelompok tikus lain hanya mendapat suntikan atau hanya satu dosis vaksin di hidung.
Hasilnya, hanya kelompok yang mendapat suntikan diikuti dengan semprotan hidung yang mengembangkan kekebalan yang kuat terhadap virus Covid-19.
“Pendekatan yang kami lihat pada model tikus menjadi 100 persen protektif terhadap dosis mematikan infeksi SARS-CoV-2, dan secara dramatis mengurangi viral load di hidung dan di paru-paru,” kata Iwasaki.(*)
Ilustrasi: Pixabay