Interest

Stres Sosial Percepat Penuaan Sistem Imun, Bagaimana Mencegahnya?

Dwiwa

Posted on June 29th 2022

Sebuah studi baru mengungkap jika stres sosial seperti masalah keluarga dan diskriminasi, bersama dengan masalah uang dan pekerjaan, dapat berkontribusi terhadap penuaan yang lebih cepat pada sistem imun. Ini menjadi pukulan ganda karena sistem kekebalan sudah melemah seiring bertambahnya usia.

Dilansir CNN, Eric Klopack, seorang sarjana postdoctoral di University of Southern California Leonard Davis School of Gerontology mengatakan jika penuaan kekebalan dapat menyebabkan kanker, penyakit jantung dan kondisi kesehatan terkait usia lainnya. Ini juga menurangi efektivitas vaksin seperti Covid-19.

“Orang dengan skor stres yang lebih tinggi memiliki profil kekebalan yang tampak lebih tua, dengan presentase yang lebih rendah dalam melawan penyakit baru dan presentase yang lebih tinggi untuk sel T yang sudah aus,” kata Klopack.

Sel-T adalah salah satu pelindung tubuh yang paling penting dengan beberapa fungsi utama. Sel T "pembunuh" dapat secara langsung menghilangkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker, dan membantu membersihkan apa yang disebut "sel zombie", sel tua yang tidak lagi membelah tetapi menolak untuk mati.

Sel-sel tua bermasalah karena mereka melepaskan berbagai protein yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya. Sel-sel tersebut telah terbukti berkontribusi terhadap peradangan kronis. Karena semakin banyak menumpuk di dalam tubuh, mereka memicu kondisi penuaan, seperti osteoporosis, penyakit paru obstruktif kronis dan penyakit Alzheimer.

Selain menemukan bahwa orang yang melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi memiliki lebih banyak sel zombie, Klopack dan timnya menemukan bahwa mereka juga memiliki lebih sedikit sel T "naif", yang merupakan sel muda dan segar yang dibutuhkan untuk menghadapi penyerang baru.

"Makalah ini menambah temuan bahwa stres psikologis di satu sisi, dan kesejahteraan dan sumber daya di sisi lain, terkait dengan penuaan imunologis," kata psikolog klinis Suzanne Segerstrom, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Studi yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences ini menganalisis biomarker darah dari 5.744 orang dewasa lebih tua yang dikumpulkan sebagai bagian dari Health and Retirement Study.

Mereka kemudian ditanyai tentang tingkat stres sosial, meliputi peristiwa kehidupan yang penuh stres, stres kronis, diskriminasi sehari-hari, dan diskriminasi seumur hidup. Jawaban mereka kemudian dibandingkan dengan tingkat sel T yang ditemukan dalam tes darah mereka.

"Kami menemukan orang dewasa yang lebih tua dengan proporsi sel naif yang rendah dan proporsi sel T yang lebih tua memiliki sistem kekebalan yang lebih tua," kata Klopack.

Studi ini menemukan hubungan antara peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dan lebih sedikit sel T naif tetap kuat bahkan setelah mengendalikan variabel pendidikan, merokok, minum, berat, dan ras atau etnis.

Namun, ketika pola makan yang buruk dan olahraga yang rendah dikontrol, hubungan antara stres dan penuaan dini kekebalan tidak sekuat itu. Klopack mengatakan, ini menunjukkan bahwa meningkatkan perilaku kesehatan tersebut dapat membantu mengimbangi bahaya yang terkait dengan stres.

 

Bagaimana stres memengaruhi otak?

Para ahli mengatakan saat hormon stres membanjiri tubuh, sirkuit saraf di otak berubah, memengaruhi kemampuan kita untuk berpikir dan membuat keputusan. Kecemasan meningkat dan suasana hati bisa berubah. Semua perubahan neurologis ini berdampak pada seluruh tubuh, termasuk sistem otonom, metabolisme, dan kekebalan tubuh kita.

"Stressor yang paling umum adalah yang bekerja secara kronis, seringkali pada tingkat rendah, dan yang menyebabkan kita berperilaku dengan cara tertentu. Misalnya, ‘stres’ dapat menyebabkan kita cemas dan atau depresi, kehilangan tidur di malam hari, makan makanan yang menenangkan dan mengonsumsi lebih banyak kalori daripada yang dibutuhkan tubuh kita, dan merokok atau minum alkohol secara berlebihan," tulis ahli neuroendokrinologi terkenal Bruce McEwen.

McEwen, yang membuat penemuan penting tahun 1968 bahwa hipokampus otak dapat diubah oleh hormon stres seperti kortisol, meninggal pada tahun 2020 setelah 54 tahun meneliti neuroendokrinologi di The Rockefeller University di New York City.

“Menjadi 'stres' juga dapat menyebabkan kita mengabaikan teman-teman, atau mengambil cuti dari pekerjaan kita, atau mengurangi keterlibatan kita dalam aktivitas fisik secara teratur karena kita, misalnya, duduk di depan komputer dan mencoba keluar dari bawah tekanan terlalu banyak yang harus dilakukan," tulis McEwen.

 

Apa yang harus dilakukan?

Ada cara untuk menghentikan stres di jalurnya. Mengambil napas dalam-dalam meningkatkan sistem saraf parasimpatis kita, kebalikan dari respons "lari atau lawan". Mengisi perut dengan udara hingga hitungan keenam akan memastikan kita bernapas dalam-dalam. Menggerakkan tubuh seolah-olah dalam gerakan lambat adalah cara lain untuk memicu refleks yang menenangkan itu, kata para ahli.

Interupsi stres dan pemikiran cemas kalian dengan terapi perilaku kognitif atau CBT. Uji klinis telah menunjukkan ini bisa untuk meredakan depresi, kecemasan, pemikiran obsesif, gangguan makan dan tidur, penyalahgunaan zat, gangguan stres pasca-trauma dan banyak lagi. Praktik ini cenderung lebih fokus pada masa kini daripada masa lalu, dan biasanya merupakan pengobatan jangka pendek, kata para ahli. (*)

 

Foto: Pixabay

Artikel Terkait
Current Issues
Siswa Kembali ke Sekolah, Bagaimana Sekolah Memenuhi Kebutuhan Mereka?

Interest
Ini 6 Cara untuk Meningkatkan Kesehatan Mental yang Wajib Dicoba

Interest
Lagi Banyak Tekanan dan Stres? Coba Cara Ini untuk Mengatasinya