Current Issues

Remaja Banyak Rasakan Kecemasan Saat Memulai Sekolah Tatap Muka

Dwiwa

Posted on March 4th 2022

Pandemi Covid-19 telah memaksa sekolah tatap muka harus dihentikan dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh. Sejumlah pakar telah mengatakan jika sistem pembelajaran ini kurang baik untuk perkembangan siswa dan mendesak agar sekolah bisa kembali tatap muka. Tetapi tampaknya, hal ini bukan menjadi solusi ajaib yang bisa menyelesaikan masalah yang mungkin timbul pada remaja.

Dilansir dari NBC News, para remaja nyatanya juga mengalami kesulitan saat harus kembali sekolah tatap muka setelah sekian lama sekolah online. Hailey Kern misalnya. Siswa berusia 15 tahun asal Suffern, New York Amerika Serikat ini merasa kesulitan ketika harus kembali mengikuti pembelajaran tatap muka.

Pandemi membuatnya merasa kewalahan selama berhari-hari, sehingga sulit untuk bangun dari tempat tidur. Kecemasan membuatnya seperti membawa 100 pon di punggung. Hailey mulai menemui psikiater secara teratur dan diberi resep obat anti-kecemasan.

Sydney Jackson, siswa di sekolah menengah atas di Hartsdale New York juga mengalami hal serupa. Dia merasa “kaget” saat kembali sekolah tatap muka. Dia yang dulu begitu mudah bersosialisasi, tiba-tiba merasa canggung secara sosial.

Dia mengalami kecemasan dan belajar lagi bagaimana melakukan percakapan dan berbicara tatap muka lagi. Pola tidurnya bahkan terganggu dan dia harus menemui profesional untuk membantunya mengatasi kecemasan.

Bukan hanya Hailey dan Sydney, dua tahun pandemi di Amerika Serikat, semakin banyak orang tua dan psikiater melaporkan bahwa kembali ke pembelajaran langsung bukanlah peluru ajaib yang diharapkan banyak orang untuk anak usia sekolah.

Selain itu, pandemi juga telah mengakibatkan sejumlah tantangan kesehatan mental bahkan bagi orang-orang muda yang tampaknya setahun lalu relatif baik-baik saja.

Dr Jonathan Slater, seorang psikiater anak dan remaja di New York Presbyterian Morgan Stanley Children Hospital mengatakan merujuk meningkatnya jumlah pasien Gen Z yang ditanganinya untuk masalah kesehatan mental terkait pandemi sebagai “luka yang berjalan”.

“Saya menciptakan istilah ‘Generasi U’ untuk generasi ini – Generasi U untuk Uncertainty (Ketidakpastian). Saya pikir tantangan terbesar yang dihadapi kaum muda saat ini hanyalah ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi pada mereka,” ujarnya.

Slater mengatakan korban kesehatan mental dari pandemi telah bermanifestasi pada anak-anak dalam berbagai cara. Ada banyak kecemasan dan depresi pada orang muda. Mereka berulah, terlibat lebih banyak masalah, mungkin juga terlibat dengan lebih banyak zat.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, jumlah kunjungan gawat darurat terkait kesehatan mental di kalangan remaja berusia 12-17 tahun melonjak 31 persen pada 2020 dibandingkan dengan 2019. Pada Februari dan Maret 2021, kunjungan gawat darurat untuk dugaan upaya bunuh diri adalah 51 persen lebih tinggi di antara anak perempuan usia 12-17 tahun dibanding periode yang sama tahun 2019.

Secara nasional, orang tua melaporkan kekhawatiran tentang kesehatan mental anak-anak mereka. Dalam survei terhadap seribu orang tua di seluruh negeri yang difasilitasi oleh Rumah Sakit Anak Lurie di Chicago, 71 persen orang tua mengatakan pandemi telah berdampak buruk pada kesehatan mental anak mereka. Sementara 69 persen mengatakan pandemi adalah hal terburuk yang pernah terjaid pada anak mereka.

Meski banyak pejabat pemerintah dan orang tua telah memperkirakan bahwa kembali ke pembelajaran tatap muka akan meningkatkan kesehatan mental kaum muda, Slater mengatakan itu bukan jawaban dari yang diharapkan semua orang.

“Tiba-tiba mereka kembali ke sekolah, dan harapan meningkat di tempat mereka berada, dan itu bisa membuat stres, terutama untuk siswa yang sudah memiliki kecemasan sosial. Kembali ke sekolah belum tentu merupakan obat mujarab,” ujar Slater.

Pada kasus kesehatan mental seperti yang dialami oleh Hailey, bantuan profesional sangat membantu mereka melewati hari tersulit selama pandemi. Namun menurut Slater, di Amerika Serikat tidak ada cukup psikolog dan psikiater pediatrik untuk berkeliling, terutama saat ini, ketika begitu banyak keluarga menghadapi masalah kesehatn mental terkait pandemi.

Orang tua Hailey dan Sydney mengatakan senang putri mereka telah menemukan cara untuk mendapatkan bantuan profesional. Namun, mereka khawatir tentang bekas luka abadi yang akan ditinggalkan pandemi pada anak-anak mereka.

“Itu menghilangkan semangat masa muda,” kata Kaye Jackson, ibu Sydney. “Ini hampir seperti mengambil masa depan mereka. Dan mereka harus membayangkannya kembali sekarang.”

Foto: Pexels/Max Fischer

Artikel Terkait
Current Issues
Studi: Gadis Remaja Lebih Berisiko Alami Gangguan Makan Selama Pandemi

Interest
Selama Pandemi, Masalah Kesehatan Mental Remaja Naik Dua Kali Lipat

Interest
Studi: Kian Banyak Anak Usia 3-17 Tahun yang Kesehatan Mentalnya Terganggu