![]() |
Posted on September 26th 2018 |
Sepakbola Indonesia kembali diguncang kejadian memilukan. Tentu nggak perlu diingetin insiden mengenaskan yang terjadi di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) pada Minggu 23 September 2018. Haringga Sirila, suporter Persija Jakarta yang berdomisili di Cengkareng, tewas setelah dianiaya segerombolan pendukung Persib Bandung (Bobotoh) di area lapangan parkir GBLA. Pria berumur 23 tahun itu bertolak ke Bandung demi mendukung tim kesayangannya namun naasnya ajal menjemput.
Haringga bukanlah korban fatal pertama dari kasus kekerasan yang terjadi antara suporter sepakbola di Indonesia. Tercatat ada sedikitnya 55 kasus kematian yang terjadi akibat kontak kekerasan antar suporter di tanah air sejak tahun 1985. Hal itu menimbulkan pertanyaan, “Apa sih yang ada di benak segelintir penggemar sepak bola tanah air? Apa sih yang mendasari fanatisme mereka kepada sebuah tim sepakbola?”
Sebuah eksperimen pada medio 1970an yang diberi nama Minimal Group Paradigm yang bertujuan untuk mencari tahu sesederhana apa faktor yang dapat membuat otak manusia mengidentifikasi membentuk dan mengidentifikasi kelompok sendiri dan lawan. Misalnya, terdapat dua kelompok orang yang diberikan dua buah warna kaos yang berbeda yakni kuning dan merah. Mereka yang diberi kaos berwarna sama akan mulai mengidentifikasi satu sama lain meskipun mereka tidak memiliki kesamaan dalam aspek apapun dan bahkan mulai tidak menyukai mereka yang berwarna kaos berbeda padahal tidak terlibat kontak verbal selama eksperimen berlangsung.
Secara demografis terdapat perbedaan yang bisa saja tak terlihat oleh kasat mata, namun benar-benar ada. Faktor ekonomi, kelas sosial, pendidikan serta aspek-aspek lainnya memiliki peran besar dalam pembentukan kepribadian manusia yang berbanding lurus dengan proses pengambilan keputusan secara kolektif maupun individu. Setelah kejadian mengerikan di Stadion GBLA pada hari Minggu silam, media sosial dibanjiri komentar dari masyarakat. Banyak dari komentar netizen merujuk kepada fakta bahwa suporter sepak bola di Indonesia berasal dari keluarga berekonomi rendah dan beberapa diantara mereka tidak mengenyam jenjang pendidikan tingkat lanjut.
Were some of the opinions relevant? Yeah, sure.
But is that really the case, though? I’m not entirely sure.
Di sisi lain, sudah merupakan tugas asosiasi olahraga dan setiap klub yang berkompetisi untuk mengedukasi suporter mereka mengenai sportifitas dan keamanan suporter bahkan sejak usia dini. Dengan penyuluhan yang tepat sasaran dan efisien, tak diragukan lagi aparat keamanan dan pihak penyelenggara akan sangat terbantu dalam mengontrol perilaku suporter sepakbola atau penggemar olahraga lainnya.
“Kekerasan fans olahraga tidak lebih dari bentuk bullying yang dilakukan oleh orang dewasa. Penggemar olahraga perlu diingatkan mengenai keamanan dalam menyaksikan pertandingan melalui sesi edukasi, forum diskusi dan diperlukan kerjasama dengan organisasi yang memiliki tujuan memberikan keamanan di area pertandingan olahraga.” ujar Kathy Samoun, pendiri Fans Against Violence di area San Fransisco, AS.
“Jika kita mampu memberikan edukasi mengenai bahayanya tindak kekerasan dan sportsmanship sejak usia dini, maka kita akan menimbulkan dampak yang lebih besar karena anak-anak itu nantinya akan tumbuh besar dengan pola pikir tersebut.”
Meskipun Harlingga bukan korban tewas yang pertama dalam sejarah panjang dan kelam dari kekerasan di persepakbolaan Indonesia, tapi dengan usaha yang keras dan tak kenal lelah pihak yang terlibat bisa mencegah kasus serupa untuk terjadi lagi.