![]() |
Posted on October 8th 2021 |
Bagi sebagian penyintas Covid-19, mendapatkan vaksinasi mungkin dirasa tidak lagi perlu. Sebab, orang yang pernah terpapar virus corona baru umumnya juga mengembangkan sistem kekebalan untuk melawan virus ini. Tetapi, apakah tertular SARS-Cov-2 dan vaksinasi memberikan perlindungan yang sama?
Dilansir dari NBC News, selama beberapa dekade dokter telah menggunakan tes darah untuk menentukan apakah orang terlindungi dari penyakit menular. Wanita hamil diuji antibodi terhadap rubella untuk membantu memastikan bahwa janin mereka tidak akan terinfeksi virus rubella, yang menyebabkan terjadinya cacat lahir.
Petugas rumah sakit diperiksa antibodi campak dan cacar air untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit tersebut. Tetapi kekebalan terhadap Covid tampaknya lebih sulit untuk dilihat dibanding kekebalan untuk penyakit-penyakit itu.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah mengizinkan penggunaan tes antibodi Covid untuk mendeteksi infeksi di masa lalu. Beberapa tes dapat membedakan apakah antibodi tersebut berasal dari infeksi atau vaksin.
Tetapi baik FDA maupun Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) tidak merekomendasikan penggunaan tes untuk menilai apakah sebenarnya seseorang kebal terhadap Covid. Jadi, pada dasarnya tes ini tidak berguna, karena tidak ada kesepakatan tentang jumlah atau jenis antibodi yang akan memberikan sinyal perlindungan dari penyakit.
“Kami belum memiliki pemahaman penuh tentang apa yang ditunjukkan dari keberadaan antibodi tentang kekebalan,” ujar Kelly Wroblewski, direktur penyakit menular di Association of Public Health Laboratories.
Dengan cara yang sama, para ahli tidak setuju terkait seberapa besar perlindungan yang diberikan oleh infeksi. Dan tidak adanya kepastian tentang seberapa besar kekebalan alami dibanding vaksinasi dan adanya mandat yang mewajibkan semua orang divaksinasi, telah membuat munculnya tuntutan hukum di Amerika Serikat.
Aaron Kheriaty, seorang profesor psikiatri di University of California menggugat untuk menghentikan sistem mandat vaksinasi universitas. Aaron yang pernah terpapar Covid pada Juli 2020 mengatakan kekebalan alami telah memberinya dan jutaan orang ainnya perlindungan lebih baik daripada vaksin apa pun.
Hakim menolak permintaan Kheriaty, tetapi dia berencana untuk melanjutkan kasus ini. Kepada KHN dia mengatakan jika penelitian tentang kekebalan alami sekarang sudah cukup definitif dan itu lebih baik daripada kekebalan yang diberikan oleh vaksin. Tetapi pernyataan seperti itu jelas tidak dimiliki sebagian besar komunitas ilmuwan.
Arthur Reingold, ahli epidemiologi di University of California, Berkeley, dan Shane Crotty, seorang ahli virus di Institut La Imunologi La Jolla mengatakan tingkat kekebalan dari infeksi ulang, terutama terhadap varian Covid yang lebih baru, tidak diketahui. Mereka menekankan jika vaksinasi memberikan penguat kekebalan yang sangat besar pada orang yang pernah terpapar sebelumnya.
Tetapi, tidak semua dari mereka yang mendorong pengakuan infeksi masa lalu adalah kritikus vaksinasi atau orang dari gerakan anti-vaksin.
Dr Jeffrey Klausner, seorang profesor klinis populasi dan ilmu kesehatan masyarakat di University of South California, ikut menulis analisis yang diterbitkan minggu lalu yang menunjukkan bahwa infeksi umumnya melindungi selama 10 bulan atau lebih.
“Dari perspektif kesehatan masyarakat, menolak pekerjaan, akses, serta perjalanan untuk orang yang telah pulih dari infeksi tidak masuk akal,” ujarnya.
Dalam kesaksiannya terhadap kasus Kheriaty tentang kekebalan alami, Crotty mengutip studi tentang ledakan kasus Covid yang melanda Manaus Brasil awal tahun ini yang melibatkan varian Gamma. Salah satu penelitian memperkirakan, berdasarkan tes donor darah, tiga perempat populasi kota telah terinfeksi sebelum Gamma datang.
Itu menunjukkan bahwa infeksi sebelumnya mungkin tidak melindungi terhadap varian baru. Tetapi Klausner dan lainnya menduga bahwa tingkat infeksi sebelumnya yang disajikan dalam studi tersebut adalah perkiraan yang terlalu tinggi.
Sebuah penelitian besar pada Agustus dari Israel menunjukkan jika perlindungan yang diberikan oleh infeksi lebih baik dari pada vaksinasi. Klausner mengatakan jika ini dapat membantu membuka jalan untuk penerimaan terhadap infeksi sebelumnya.
Juru bicara CDC Kristen Nordlund mengatakan dalam email bahwa bukti saat ini menunjukkan variasi yang luas dalam respon antibodi setelah infeksi Covid. “Kami berharap ada beberapa informasi tambahan tentang perlindungan kekebalan vaksin dibandingkan dengan kekebalan alami dalam beberapa minggu mendatang,” ujarnya.
Saat ini, “upaya monumental” tengah dilakukan untuk menentukan tingkat antibodi protektif, jelas Dr Robert Seder, kepala bagian imunologi seluler di National Institute of Allergy and Infectious Disease. Studi terbaru telah menunjukkan angka.
Dr George Siber, konsultan industri vaksin dan salah satu penulis dari sebuah makalah, mengatakan tes antibodi tidak akan pernah memberikan jawaban ya atau tidak tentang perlindungan Covid.
“Tetapi akan ada orang yang tidak diimunisasi. Mencoba memprediksi siapa yang berisiko lebih rendah layak untuk dilakukan,” ujarnya.(*)