Lifestyle

Toxic Positivity dan Optimis Hampir Sama, Apa sih Bedanya? Cek 3 Poin Ini

Kezia Kevina Harmoko

Posted on July 3rd 2021


(Foto: DreamsTime)

Punya teman yang tampak selalu bahagia dan nggak pernah mengekspresikan perasaan negatif? Suka share kutipan-kutipan motivasi bernuansa positive vibes only, selalu menanggapi curhat dengan kalimat “bersyukur aja“—ini orang beneran optimis atau mulai toxic positivity ya?

Toxic positivity adalah sebutan untuk perasaan harus terus berbahagia, optimis, senang, pokoknya merasa wajib selalu merasa baik-baik saja. Menyingkirkan perasaan negatif. Berpikir positif memang perlu, tapi kalau berlebihan jadinya toxic. Misal kita mendengar cerita orang lain yang baru aja sakit, terus kita bilang, “Wah, untung ya cuma tangan yang terluka, bersyukur aja!“

Nah, gimana sih cara membedakan antara optimisme yang murni sama yang sudah masuk ke toxic positivity? Nih, cek beberapa poin di bawah ini.

1. Merasa bersalah dengan perasaan sendiri atau tidak?

Dilansir dari Psychology Today, salah satu ciri kita sedang merasakan toxic positivity adalah merasa bersalah ketika menyadari adanya perasaan negatif. Misalnya kita sedih karena keluarga kita ada yang sakit, terus merasa bersalah karena kita sedih. Toxic positivity bakal berbisik, ”Ah, aku harusnya tetap senang dong, kan sakitnya nggak parah!“

Kenyataannya, wajar banget sedih karena hal itu karena kita manusia masih punya empati. Menghindari perasaan negatif justru akan bikin kita tambah kacau. Terima bahwa perasaan itu ada yang positif dan negatif. Dengan menyadari hal itu, kita bisa berteman dengan emosi sendiri dan merasakannya dalam kadar yang sehat.

2. Menawarkan perspektif lain atau fokus ke masalah?

Pas cerita ke orang lain, kadang ada respons yang bikin perasaan kita campur aduk. Misal kita lagi kecewa karena gagal masuk universitas impian, lalu direspons, “Untung aja masih punya kesempatan daftar universitas. Lihat tuh anak jalanan, sekolah aja enggak.“

Pernyataan kayak gitu sebenarnya klise banget. Dengan membandingkan apa yang kita rasakan dengan situasi yang (mungkin memang) lebih buruk, itu sama aja tidak membenarkan perasaan negatif buat muncul. Padahal buat merasa kecewa karena penolakan itu sangat wajar. Kehilangan sesuatu yang belum kita dapatkan tetap menyakitkan.

Kalau mendengar cerita yang kurang mengenakan, cukup fokus ke si pencerita. Beritahu kalau kamu ikut sedih. Tanyakan rencana ke depannya. Semangati keputusan yang ia siapkan. Jangan bawa-bawa orang lain buat jadi perbandingan. Tanya dulu apakah si pencerita mau diberikan saran atau enggak, jangan langsung nyerocos.

3. Menganggap masalah langsung hilang atau memberikan dukungan?

Satu lagi respons andalan orang yang toxic: “Lupakan aja!” Ini juga sama aja menganggap perasaan negatif sebagai sesuatu yang haram dan harus segera dimusnahkan. Iya memang nggak baik merasakan emosi negatif terus-menerus, tapi bukan berarti harus langsung dianggap gak ada.

Tindakan seperti itu bisa bikin seseorang merasa emosinya adalah sesuatu yang salah dan ragu buat speak up lagi kalau mereka merasa down. Kalau mereka mengalami gangguan emosi, mereka juga berpotensi menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele hingga akhirnya dapat berakibat fatal.

Kemungkinan orang yang toxic selalu menebar “positive vibes” karena mereka nggak tahu cara merespons emosi negatif dengan baik. Nah, jadi lebih baik hati-hati ya sama orang seperti ini. Kalau kamu sendiri merasa toxic, coba untuk konsultasi ke tenaga kesehatan mental untuk menemukan solusi.(*)

Artikel Terkait
Lifestyle
Yang Lain Susah Saat Pandemi, tapi Kita Merasa Baik-Baik Saja? Wajar kok...

Lifestyle
5 Cara Menghadapi Orang Toxic biar Kita Nggak Terbawa Emosi

Lifestyle
10 Akun Twitter yang Suka Bahas Informasi Psikologi dan Kesehatan Mental