![]() |
Posted on July 1st 2021 |
Pernah nggak sih kalian kena bentak atau dimaki saat mengingatkan orang yang tidak memakai masker? Bahkan terkadang hanya karena masalah masker juga menimbulkan kekerasan seperti yang sempat viral beberapa waktu lalu.
Apa sebenarnya yang menyebabkan muncul reaksi berlebihan seperti ini? Dilansir dari Psychology Today, Juliana Breines, Ph.D., seorang psikolog sosial dan kesehatan mengatakan, ada empat faktor psikologis yang mungkin memengaruhi reaksi orang. Apa saja?
1. Orang mungkin merasa dihakimi secara implisit jika mereka melihat seseorang mengenakan masker
Penelitian menunjukkan bahwa saat kita melihat individu menerapkan perilaku yang dapat termotivasi secara moral, tetapi kita tidak melakukannya, mungkin ada perasaan jika mereka memandang rendah kita (meskipun mungkin tidak). Ini akan membuat kita memandang mereka secara negatif.
Kecenderungan ini disebut "do-gooder derogation” atau merendahkan orang lain yang termotivasi secara moral dan meskipun belum dipelajari dalam kaitannya dengan pemakaian masker, para peneliti telah menyarankan bahwa itu mungkin berlaku.
Artinya, orang mungkin berasumsi bahwa masker adalah bentuk sinyal kebajikan yang dimaksudkan untuk mempermalukan mereka. Tetapi faktanya, data survei menunjukkan bahwa sebagian besar pemakai masker termotivasi oleh keinginan untuk melindungi kesehatan mereka sendiri dan orang lain daripada dijadikan pernyataan.
2. Ekspresi wajah di balik wajah lebih mungkin salah dibaca
Membaca ekspresi wajah melalui masker bisa jadi sulit. Meskipun mata mengungkapkan emosi, tanpa isyarat tambahan dari bagian lain dari wajah, bahkan senyum lebar, mungkin tampak kosong, dan pandangan ramah mungkin disalahartikan sebagai tatapan tajam.
Penelitian telah menemukan bahwa orang cenderung kurang akurat dan kurang percaya diri dalam penilaian ekspresi emosional mereka pada wajah bermasker. Misalnya, mereka lebih cenderung salah mengira kebahagiaan atau kesedihan sebagai netralitas, dan kurang mampu membedakan keterkejutan dari ketakutan.
Meskipun bahasa tubuh dan nada suara dapat membantu mengisi kekosongan, informasi tambahan itu tidak selalu tersedia. Selain itu, mungkin itu juga tidak cukup untuk mengesampingkan ekspektasi negatif yang sudah ada sebelumnya, membuat orang merasakan ancaman yang sebenarnya tidak ada.
3. Masker mungkin menjadi pengingat yang tidak diinginkan dari kematian dan kerentanan kita
Besarnya risiko kematian dan penderitaan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 terdengar mengerikan dan sulit untuk dipahami. Dan itu bukan sesuatu yang biasanya ingin kita pikirkan.
Menurut teori manajemen teror, pengingat kematian secara psikologis mengancam, bahkan memicu teror, membuat kita menyingkirkan pikiran itu atau membingkainya dengan cara yang tidak terlalu mengancam.
Dalam konteks pandemi, para pendukung teori berpendapat, respons ini dapat mencakup meremehkan keseriusan virus dan merasa terganggu dengan orang-orang yang menganggapnya lebih serius. Karena masker dalam pikiran orang dikaitkan dengan penyakit mematikan, kehadirannya mungkin mengaktifkan sistem pertahanan psikologis ini.
4. Orang-orang mungkin kurang sadar akan dampak rumit pandemi bagi orang lain
Bagi sebagian orang, kebencian terhadap masker mungkin bermuara pada keinginan untuk kembali normal dan menyingkirkan pandemi. Mereka melihat masker bisa mengganggu. Meskipun keinginan ini dapat dimengerti, kita tidak dapat melupakan bahwa tidak semua orang memiliki kemewahan untuk kembali normal.
Banyak di Indonesia dan seluruh dunia masih berjuang untuk hidup mereka atau kehidupan orang yang mereka cintai, berurusan dengan long covid yang melemahkan, menunggu vaksin yang akan bekerja untuk mereka (rejimen vaksin saat ini tidak cukup kuat untuk orang dengan gangguan imun), atau berduka atas kehilangan yang tragis.
Fakta bahwa orang masih menderita tidak berarti orang lain tidak diizinkan untuk menikmati hidup lagi, tetapi itu memberikan perspektif mengapa beberapa orang mungkin memilih untuk memakai masker.
Dan mengingat kondisi Covid-19 saat ini semakin memburuk di Indonesia, rasanya sudah waktunya kita mengubah cara berpikir soal masker. Pemerintah sudah berupaya menekan penyebaran virus dengan mengambil kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali.
Sebagai masyarakat, kita juga bisa berperan serta dengan mematuhi aturan pemerintah dan memperketat protokol kesehatan. Itu termasuk dengan memakai masker, menjaga jarak minimal 2 meter, mencuci tangan dengan sabun, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.(*)