Current Issues

Bukan Hanya Delta, Para Ilmuwan Juga Waspada Varian Gamma

Dwiwa

Posted on June 19th 2021

Varian virus corona Delta telah menjadi perhatian dunia dalam beberapa minggu terakhir. Varian dengan nama ilmiah B.1.617.2 yang pertama diidentifikasi di India ini telah menyebar luas ke puluhan negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia.

Varian ini diketahui lebih menular dibanding varian asli, bahkan jika dibanding varian Alpha yang pertama diidentifikasi di Inggris. Tetapi varian Delta bukan satu-satunya yang saat ini menjadi kekhawatiran para ilmuwan. Varian lain yang juga membuat ilmuwan waspada salah satunya adalah Gamma, yang juga dikenal sebagai P.1 dan diidentifikasi pertama di Brasil.

“Aku sangat khawatir dengan P.1. Kami telah melihatnya di seluruh negara bagian (Amerika Serikat), tetapi kami melihat lonjakannya di Washington timur, kami melihatnya di negara dengan tingkat vaksinasi rendah, dan aku sangat prihatin dengan peran yang akan diambil oleh P.1. Ini sudah meningkatkan presentasenya di negara bagian ini,” ujar dr. Scott Lindquist, seorang epidemiologis untuk negara bagian Washington seperti dilansir dari CNN.

Sejauh ini, belum ada varian yang memperlihatkan kemampuan menghindari efek vaksinasi penuh. Tetapi, beberapa telah menunjukkan kemampuan, baik di laboratorium maupun dunia nyata, untuk menginfeksi kembali orang yang baru pulih dari Covid-19 dan menginfeksi orang yang telah divaksinasi sebagian.

Namun para ahli sepakat jika orang yang sudah divaksinasi penuh memiliki respon kekebalan yang kuat dan luas yang dapat menjaganya dari berbagai varian.

Gamma sendiri diklasifikasikan sebagai varian yang menjadi perhatian oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC). Menurut mereka, varian yang menjadi perhatian memiliki kemampuan meningkatkan penularan dan menyebabkan penyakit lebih parah. Varian ini juga menyebabkan efektivitas antibodi dan pengobatan yang lebih rendah.

Di Amerika Serikat varian Gamma memang telah terdeteksi di setiap negara bagian dengan prevalensi yang berbeda-beda. Bahkan meskipun varian Alpha masih mendominasi, tetapi penularan Covid-19 akibat varian Gamma juga cukup stabil.

Menurut data NowCast dari Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS), prevalensi Gamma di negara tersebut terus meningkat sejak pertengahan Maret. Selain itu, bukti saat ini menunjukkan Gamma dapat menolak efek perawatan antibodi.

Di sembilan negara bagian, HHS telah menghentikan distribusi dua perawatan antibodi monoklonal dari Eli Lilly and Co, bamlanivimab, dan etesevimab. Hal itu dilakukan dengan alasan berkurangnya efektivitas terhadap varian Gamma dan Delta.

Menurut Dr. Peter Hotez, Dekan di National School of Tropical Medicine di Baylor College of Medicine, resistensi antibodi, memperlihatkan masalah inti dari varian ini.

"Jika kalian belum divaksinasi atau hanya mendapat satu dosis vaksin, kalian rentan. Dan saat ini satu-satunya perawatan yang efektif yang kami miliki jika diberikan lebih awal adalah antibodi monoklonal, jadi jika ini bisa lolos dari antibodi monoklonal, itu benar-benar bermasalah,” ujarnya kepada CNN.

"Varian yang lebih resisten antibodi berpotensi menyebabkan masalah untuk perlindungan vaksin," jelas John P. Moore, profesor mikrobiologi dan imunologi di Weill Cornell Medicine. Ia menambahkan, Gamma telah terbukti memiliki resistensi yang lebih besar terhadap antibodi dari Alpha, tetapi sebanding dengan Delta.

Namun ini tidak membuat perlindungan vaksinasi lenyap. Vaksin yang digunakan di Amerika Serikat saat ini, Pfizer dan Moderna masih dapat memberi perlindungan cukup baik. Sementara vaksin satu dosis dari Johnson & Johnson dinilai setidaknya mampu membuat orang tidak perlu dirawat di ICU.

Namun hal yang membuat para ilmuwan khawatir terhadap semua varian yang ada adalah ini terus muncul. Menurut Ramon Lorenzo Redondo, spesialis penyakit menular di Northwestern University Feinberg School of Medicine, di wilayah yang vaksinasinya rendah, varian dapat menyebar, mereplikasi, dan berkembang lebih cepat.

"Dalam situasi ini, kalian dapat membuat virus beradaptasi...bukan hanya menjadi lebih mudah ditularkan, setidaknya, tetapi juga menghindari kekebalan. Beberapa dari garis keturunan ini telah berevolusi untuk setidaknya menghindari kekebalan alami. Namun, mereka tidak bisa menghindari kekebalan yang dihasilkan vaksin,” ujarnya.

Ia menambahkan jika kasus dibiarkan tinggi di negara-negara yang tidak divaksinasi atau negara yang tidak sepenuhnya divaksinasi, artinya orang di daerah itu bisa berada di zona bahaya. Pasalnya, setiap kali virus menginfeksi seseorang, virus bereplikasi dan berevolusi, dan akhirnya varian yang sangat resisten terhadap vaksin bisa muncul.(*)

Artikel Terkait
Current Issues
Varian Delta Jadi Ganjalan untuk Hentikan Covid-19 dengan Cepat

Current Issues
Mengenal Varian Lambda, Mutasi Virus Corona yang Disorot WHO

Current Issues
Studi: Vaksinasi Covid-19 dan Breakthrough Infection Timbulkan “Kekebalan Super"