Sport

The Reds dan Peluangnya Finish di Empat Besar

Mainmain.id

Posted on May 23rd 2021

MULAI Juni hingga 26 Desember 2020, Liverpool nyaris lupa bagaimana rasanya kalah. Di mana pun Liverpool bermain, di situ mereka hampir selalu menang dan memimpin klasemen. Dari 14 pertandingan awal, The Reds 9 kali menang, 1 kali seri, dan 1 kali kalah. Spekulasi lantas berseliweran. Liverpool sepertinya bisa mempertahankan gelar lagi.

Heroisme kemenangan Liverpool ternyata hanya bertahan hingga 26 Desember. Sebab, sejak 27 Desember hingga 7 Maret, Liverpool seperti kehilangan akal. The Reds yang biasanya selalu menang di mana-mana malah kalah di sana sini. Ekses pemain cedera merambat ke hasil akhir pertandingan.

Pada periode 27 Desember hingga 7 Maret itu, Liverpool hanya mendapatkan 12 angka dari kemungkinan 42 poin maksimal. Itu musim dingin yang benar-benar buruk bagi The Kopites, terutama kekalahan menyakitkan di kandang dari Burnley, Brighton, Manchester City, Everton, dan Fulham.

Secara statistika, itu hampir merupakan bentuk ''degradasi''. Tetapi sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Di saat yang pas, Liverpool kembali ke pentas elite. Di laga pemungkas kompetisi, The Reds masih harus berjuang agar bisa lolos ke kompetisi antarklub paling elite Eropa, Liga Champions.

Dua tiket tersisa Liga Champions diperebutkan tiga klub, yaitu Chelsea, Liverpool, dan Leicester. Dari tiga kontestan tersebut, Liverpool paling enak. Selain bermain di Anfield, musuhnya juga ''tak seberapa'', Crystal Palace. Leicester juga bermain di kandang sendiri, King Power Stadium.

Namun, klub arahan Brendan Rodgers itu harus hati-hati. Musuhnya tidak main-main, yakni Tottenham Hotspur yang ingin bermain di Liga Europa. Chelsea yang punya ranking paling tinggi dari tiga kontestan itu malah harus bertandang ke Villa Park, Birmingham. The Blues berharap pelatih Thomas Tuchel tetap sakti mandraguna saat berhadapan dengan pelatih Aston Villa Dean Smith.

Dean Smith harus tahu bahwa Tuchel ahli  rekayasa taktik sepak bola. Semua pelatih kaliber dunia dipaksa bertekuk lutut menghadapi ''profesor'' cungkring (kerempeng) itu. Pep Guardiola tak berkutik. Juergen Klopp ampun-ampun. Jose Mourinho dibuat ''mainan''.

Uniknya, reputasi hebat Tuchel sepertinya terbatas kepada figur hebat pula. Tuchel tetaplah pelatih medioker bila berhadapan dengan lawan yang reputasinya biasa-biasa saja. Nah, pelatih Aston Villa Dean Smith bisa mengambil peran dalam konteks itu.

”Hal tentang satu musim adalah Anda tidak dapat memotong bagian negatif dari bagian positif dan mengatakan bahwa kami hampir sampai,” kata Klopp seperti dikutip The Daily Telegraph Sabtu (23/5).

Pelatih Leicester City pasrah. Brendan Rodgers hanya berharap timnya bertarung dengan sebaik-baiknya. Menang memang tujuannya. Kalaupun tidak lolos ke Liga Champions, The Foxes sudah bisa bermain di Liga Europa.

Prestasi Leicester musim ini sudah membuat semua orang di kota kecil itu senangnya bukan kepalang. Menjuarai Piala FA adalah sebuah hal monumental yang sudah diidamkan sejak 137 tahun silam.

Dengan demikian, publik Leicester akan menerima kalau kali ini tim kesayangannya, seperti tahun lalu, gagal lolos lagi ke Liga Champions.

Dari tiga klub itu, Chelsea punya koleksi nilai 67, Liverpool dan Leicester masing-masing mengumpulkan total angka 66. Namun, Leicester kalah head-to-head dari Liverpool dan Chelsea. Jadi, kalaupun Leicester menang melawan Tottenham, tentu masih harus dilihat apakah Chelsea dan Liverpool imbang atau kalah. Kalau The Blues dan The Reds menang, The Foxes harus ikut liga malam Jumat atau Europa League meskipun menang lawan Spurs. Apa boleh buat. (Max Wangge/Harian Disway)

Tulisan ini sebelumnya telah tayang di Harian Disway (partner Mainmain.id) 

Artikel Terkait
Sport
The Reds, Raibnya Mentalitas Monster

Sport
Chelsea, Liverpool, dan Leicester City Berebut Tiket Liga Champions

Sport
Liverpool Tolak 463 Miliar Rupiah dari Bayern Munich untuk Transfer Sadio Mane