![]() |
Posted on May 19th 2021 |
Sampah plastik dan kayu di Pantai Kedonganan Bali pada 23 Januari. (CNN)
Produksi plastik sekali pakai diperkirakan akan meningkat 30 persen dalam lima tahun ke depan. Menurut para peneliti, ini akan meningkatkan kontribusi terhadap pemanasan global dan polusi laut.
Hal tersebut diungkap saat para peneliti mempublikasikan daftar perusahaan yang memproduksi dan mendanai plastik sekali pakai.
Dilansir dari CNN, Indeks Pembuat Sampah Plastik yang diterbitkan Yayasan Minderoo, menghitung bahwa 20 perusahaan -- terutama raksasa energi dan bahan kimia – merupakan sumber dari setengah sampah palstik sekali pakai di dunia.
Plastik sekali pakai -- seperti masker, peralatan medis, tas belanja, cangkir kopi, dan bungkus plastik (cling film) – dibuat dari polimer, yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai material dasarnya.
Laporan yayasan filantropis yang berbasis di Australia tersebut mengungkap jika pada 2019, 130 juta metrik ton plastik sekali pakai dibuang di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut 35 persen dibakar, 31 persen terkubur di tempat pembuangan sampah, dan 19 persen dibuang langsung ke darat atau ke laut.
Untuk bisa mendapatkan angka tersebut, indeks ini mengandalkan berbagai sumber data guna melacak aliran bahan plastik sekali pakai melalui siklus hidupnya – dari bentuk polimer hingga barang jadi hingga limbah – dan memperkirakan di mana bahan tersebut diproduksi, dikonversi, dikonsumsi, dan dibuang.
Puncak indeks produsen polimer yang menghasilkan limbah plastik sekali pakai diduduki oleh ExxonMobil. Berdasarkan laporan yang dikembangkan dengan konsultan energi Wood Mackenzie dan peneliti di lembaga pemikir dan universitas, perusahaan tersebut diperkirakan menyumbang 5,9 juta ton pada 2019.
Dalam komentar email, ExxonMobil mengatakan pihaknya juga memikirkan tentang limbah plastik dan setuju ini harus ditangani namun perlu upaya kolaboratif antara bisnis, pemerintah, kelompok peduli lingkungan, dan konsumen dalam hal ini.
Upaya untuk mengatasi sampah plastik juga sudah dilakukan dengan memperbanyak daur ulang, mendukung upaya untuk memulihkan lebih banyak sampah plastik dan mengerjakan solusi daur ulang canggih yang dapat membantu menurunkan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan produk.
Di sisi lain, laporan tersebut mengatakan hampir 60 persen pembiayaan komersial untuk industri plastik sekali pakai berasal dari 20 bank global yang telah meminjamkan hampir USD 30 miliar untuk produksi polimer sejak 2011.
Dalam kata pengantar laporan, mantan Wakil Presiden AS Al Gore mengatakan krisis iklim dan sampah plastik semakin terkait dengan atmosfer yang mirip seperti saluran pembuangan terbuka untuk emisi pemanas planet. Sedangkan lautan seperti tempat pembuangan sampah cair untuk limbah plastik.
Tetapi saat sektor listrik dan transportasi beralih ke energi bersih, perusahaan yang mengekstraksi dan menjual bahan bakar fosil berebut untuk memperluas pasar petrokimia mereka, tiga perempatnya adalah produksi plastik, tulisnya.
"Karena sebagian besar plastik terbuat dari minyak dan gas - terutama gas dari rekahan hidraulik- produksi dan konsumsi plastik menjadi pendorong signifikan krisis iklim, menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam skala yang sama dengan negara besar," tambahnya.
Perkiraan akademis tentang jejak karbon plastik telah mengindikasikan seluruh siklus hidup plastik sekali pakai menyumbang sekitar 1,5 persen dari emisi gas rumah kaca global pada 2019 dengan polimer sebagai kontributor utama, menurut penulis laporan tersebut.
Mereka menambahkan, dengan jalur pertumbuhan mereka saat ini, plastik sekali pakai mungkin bertanggung jawab pada 5-10 persen emisi gas rumah kaca tahunan pada 2050, jika dunia memenuhi target Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celcius.
Yayasan Minderoo mengatakan perusahaan petrokimia harus diwajibkan untuk mengungkap jejak sampah plastik mereka dan berkomitmen untuk memproduksi plastik dari limbah plastik daur ulang daripada bahan bakar fosil.
Mereka juga meminta bank dan investor untuk mengalihkan dana mereka dari perusahaan yang memproduksi plastik baru berbasis bahan bakar fosil baru ke perusahaan yang menggunakan bahan baku plastik daur ulang. (*)