![]() |
Posted on May 12th 2021 |
Jason Statham kembali meramaikan bioskop global dengan aksi perkelahiannya dalam film bernuansa kelam, Wrath of Man. Seperti kebanyakan judul yang ia mainkan, Wrath of Man turut membangun citra Statham sebagai pria berbahaya yang dikelilingi komplotan perampok.
Didukung oleh ambisi balas dendam yang kuat, Statham berhasil mengantarkan film garapan Guy Ritchie tersebut menjadi Box Office AS, menggeser Mortal Kombat menuju posisi kedua.
Diadaptasi dari film Prancis bertajuk Le Convoyeur (Cash Truck), Wrath of Man mengisahkan seorang pria bernama Patrick Hill (Jason Statham) alias ‘H’ yang melamar kerja di sebuah perusahaan jasa pengantaran uang, Fortico Security. Pekerjaan semacam itu justru menempatkan H dalam keadaan bahaya, karena banyak perampok yang akan mengincarnya saat misi mengantar uang dilakukan.
Nah, awalnya Mainmain bingung kenapa Fortico Security yang hampir setiap hari diincar perampok itu masih buka. Ditambah lagi, masih juga banyak orang yang ingin bekerja di sana. "H" misalnya, baru beberapa hari mengantar uang sudah harus berhadapan dengan dua perampokan sadis. Gokil nggak tuh.
Namun, ini bukan lah sekadar tontonan aksi sekelompok preman yang mencegat truk uang di tengah jalan kemudian merampoknya. Lebih dari itu, Wrath of Man membangun perasaan emosional yang kuat. Empat puluh menit awal film diputar, penonton bakal didorong untuk mencermati tindakan "H" di tempat ia bekerja.
Film dibuka dengan aksi cegatan perampokan yang benar-benar klise. Tapi penonton tidak sadar sebenarnya ada peristiwa besar di balik perampokan tersebut. Kemudian, plot tiba-tiba melompat saat Statham direkrut sebagai "H".
Saat penonton telah terjebak dalam adegan misteri seputar karakternya, film tersebut banting setir, memutar balik untuk mengungkapkan tepat alasan "H" melamar kerja di Fortico. Sudah jelas bahwa backstory-nya selaras dengan peristiwa masa kini. Film ini berhasil diseimbangkan melalui urutan aksi intens oleh Ritchie dengan alur maju-mundur.
Cerita tentang misi balas dendam, pengkhianatan, penyelidikan perampokan memang sudah menjamur di industri perfilman Hollywood. Kalian mungkin lebih familiar dengan Taken, Den of Thieves, atau Baby Driver. Tapi yang bisa dipuji di sini adalah cara sang sutradara menyebar petunjuk secara acak, yang kemudian secara otomatis tersusun membentuk satu ungkapan jelas di akhir film. Meskipun perlu diakui dalam proses tersebut Ritchie mengurutkannya sedikit berantakan.
To be honest, pembentukan karakter Statham di film ini mungkin bakal sedikit membosankan. Terlalu dingin. Terlalu tidak banyak bicara. Terlalu professional. Just Statham being Statham. Jauh lebih pendiam dari sosoknya dalam Mechanic, Parker, atau The Expendables. Mungkin satu-satunya dialog Statham terbanyak ada di Hobbs and Shaw. Namun, mau bagaimana lagi? Kebisuan Jason Statham sengaja dibentuk dengan tujuan menguatkan perasaan misteri di mata penonton.
Untungnya, kebisuan itu pecah karena Post Malone tiba-tiba muncul sebagai sosok perampok bawel. Meskipun pada akhirnya ia mati karena peluru yang ditembakan dari pistol milik "H". Kemunculan Post Malone bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk film ini.
Menonton film Wrath of Man layaknya seperti menonton serial Netflix dalam satu waktu. Seperti Justice League, film ini dibagi dalam sejumlah chapter, yakni Roh Jahat, Bumi Hangus, Binatang Nakal dan Buruk, serta Hati Paru Ginjal Jantung. Dengan setiap chapternya mengisahkan hubungan antara keluarga dan rekan kerja yang saling berkaitan.
Pada akhirnya, keputusan Ritchie menyusun point of view yang mondar-mandir memberikan pengalaman baru bagi penonton. Atau setidaknya menyelamatkan film ini dari pandangan “sudah terlalu umum”. Wrath of Man diperankan oleh Jason Statham, Holt McCallany, Jeffrey Donovan, Josh Hartnett, Scott Eastwood. Film ini bisa ditonton di jaringan Cineplex XXI Indonesia.(*)