![]() |
Posted on April 15th 2021 |
Krisis kesehatan mental remaja telah dialami para remaja selama bertahun–tahun. Tingkat kecemasan dan depresi terus meningkat. Dilansir dari USA Today, pada 2017, bunuh diri bahkan menjadi penyebab kematian kedua untuk mereka yang berusia 10 hingga 24 tahun.
Lalu saat Covid-19 datang, orang Amerika dari segala usia mengatakan pandemi berdampak pada kesehatan mental mereka. Dan tren itu telah terlihat jelas di kalangan anak muda.
Menurut Mental Health America, tingkat kecemasan dan depresi pada anak-anak usia 11 hingga 17 tahun yang diskrining tahun lalu, 9 persen lebih tinggi daripada 2019. Data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menunjukkan jumlah anak yang dikirim ke ruang gawat darurat karena kondisi kesehatan mental meroket sejak April hingga Oktober tahun lalu.
Data survei dari YouthTruth menunjukkan bagi siswa sekolah menengah, pemicu stres terbesar adalah rasa terputus dari teman dan orang yang dicintai serta kesulitan memfokuskan pada sekolah atau pekerjaan.
Tetapi tantangan kesehatan mental tidak akan langsung hilang saat sekolah dibuka kembali. Dalam beberapa kasus, tantangan akan diperparah dengan tantangan baru. Misalnya tekanan yang dihadapi setelah satu tahun kehilangan pembelajaran, kecemasan kembali ke rutinitas harian, dan ketakutan berada di dekat orang lain.
“Merasa tertekan, stres atau cemas sekarang menjadi kendala nomor 1 dalam pembelajaran siswa,” ujar Jen Vorse Wilka, direktur eksekutif YouthTruth.
Hal ini rupanya disadari oleh sekolah dan banyak wilayah di Amerika yang mulai menggalang dana untuk layanan kesehatan mental dan menawarkan pengembangan profesional bagi pendidik yang bertanya-tanya bagaimana cara terbaik menanggapi krisis.
Dampak dari gangguan kesehatan mental sendiri tidak akan hilang begitu saja. Kepala Program Officer di Active Minds, Laura Horne menemukan yang paling mencolok tentang data survei organisasi tahun lalu adalah sejauh mana tekanan untuk sebuah pencapaian merusak kesejahteraan emosional siswa.
“Penggerak utamanya adalah ketidakpastian tentang ‘apakah guru saya mengerti bahwa saya tidak akan melakukan pekerjaan terbaik saya sekarang?” ujarnya.
Para ahli pun menyarankan agar para pendidik lebih dahulu memperhatikan kebutuhan dasar siswa, termasuk kesehatan mental sebelum menekankan pada pembelajaran yang telah hilang.
“Jika kamu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar siswa tersebut, pembelajaran tidak dapat dilanjutkan,” ujar Sheryl Place, pengajar di Florida Miami-Dade County Public Schools yang membantu kampus mengadopsi teknologi.
Sekolah kembangkan program untuk bantu siswa atasi trauma pandemi
Beberapa wilayah di Amerika telah melakukan inisiatif membangun pembelajaran sosial-emosional pre pandemi dengan investasi besar dalam program yang bertujuan membantu siswa mengatasi trauma pandemi.
Lainnya, termasuk Vegas Clark County School District, melengkapi perangkat sekolah mereka dengan software yang didesain untuk mendeteksi ketika seorang siswa bunuh diri melalui pencarian di internet dan sejenisnya. (The New York Times melaporkan bahwa distrik itu memiliki 18 siswa bunuh diri pada Desember lalu).
Laporan yang dikeluarkan oleh Fordham Institute, sebuah lembaga pemikir pendidikan, menyebut intervensi hanya akan berjalan sejauh ini, tanpa penekanan pada budaya sekolah.
Sementara Miami-Dade County Public School menggunakan sebagian dana untuk mengembangkan Departemen Layanan Kesehatan Mental. Distrik tersebut mempekerjakan lusinan koordinator yang ditugaskan untuk berhubungan dengan keluarga dan meningkatkan kesadaran di antara para pendidik.
Sally Alayon, asisten pengawas layanan pendidikan dan operasi sekolah di distrik tersebut mengatakan setelah pandemi melanda, Miami-Dade menyadari perlu memikirkan kembali bagaimana ini bisa memberikan dukungan kesehatan mental.
Nah kalau menurut kalian gimana nih. Jika sekolah sudah dibuka kembali, enaknya langsung belajar seperti biasa atau lebih baik melakukan sesi untuk mengatasi trauma pandemi terlebih dahulu? (*)