Menilik kasus Gaga & Lora dan Olivia Nelbra
![]() |
Posted on February 13th 2021 |
(Ilustrasi: Holly Stapleton/Local Love)
Belakangan ini, kasus toxic relationship dan kekerasan dalam hubungan lagi ramai berseliweran di linimasa, terutama Twitter. Misalnya kasus Edelenyi Laura Anna yang mengganti caption unggahan Instagram bareng pacarnya, Gaga Muhammad, yang dianggap memanfaatkan dirinya.
Laura menyebut mantannya itu diam-diam menggesek kartu ATM miliknya, minta dibelikan motor, pokoknya minta-minta yang berkaitan sama materi deh.
Atau yang baru-baru ini ramai, Olivia Nelbra. Penyanyi berbakat satu ini meminta mantannya, Efryllian Elvin Tanjung, untuk mengembalikan semua uang yang pernah ia berikan. Alasannya adalah mantannya itu melakukan kekerasan fisik dan verbal dan terus mengancam keselamatan dirinya.
Kedua kasus tersebut ramai di media sosial. Sebagian warganet memberikan dukungan, sebagian lagi mempertanyakan satu hal.
”Kenapa gak putus aja sih sudah tahu dimanfaatin?”
Beberapa juga menyalahkan pihak yang dirugikan karena terus memberikan apa yang diinginkan si mantan. Mudah buat kita orang yang gak ada di dalam hubungan tersebut untuk berkomentar. Nah sekarang, kenapa sih orang-orang seperti ini susah keluar dari hubungan yang gak sehat ini?
1. Lingkungan menganggap normal perlakuan kekerasan
Kadang, sulit untuk mengategorikan apakah pasangan kita sedang melakukan kekerasan (abuse) atau tidak. Ini karena lingkungan menganggap, "Ah, dalam sebuah hubungan pasti ada cekcok. Wajar lah," atau "Itu kan dia lagi marah karena masalah A, kalau nggak ada masalah dia pasti gak gitu kok". Intinya menganggap perlakuan buruk adalah hal yang wajar. Kekerasan bukan hanya fisik lho, kekerasan finansial juga ada (financial abuse).
Ini bikin korban merasa bingung dan menganggap dirinya sendiri berlebihan. Akibatnya? Setiap tindakan kekerasan terjadi, pikiran yang mewajarkan tersebut mencegah ia memutuskan hubungan.
2. Pelaku kekerasan melakukan gaslighting
Gaslighting adalah tindakan manipulasi psikologis yang membuat penerimanya mempertanyakan apa yang mereka ketahui itu memang benar. Misalnya ada pasangan A dan B. Ketika A mabuk, seharusnya B percaya bahwa itu adalah tindakan yang sepenuhnya dipilih sendiri oleh A dan merupakan hal yang salah. Namun, bisa jadi A membuat B percaya kalau ia mabuk karena si B menyebalkan, jadi semuanya salah si B.
Si B lama-kelamaan jadi percaya kalau segala tindakan buruk yang dilakukan A adalah salahnya. Akibatnya, harga diri kian menurun dan korban gaslighting tersebut terus mempertahankan hubungan karena "masih untung dia mau sama aku".
3. Harapan semu bahwa si pasangan bakal berubah
Ungkapan "cinta membutakan" bisa dibilang memang benar. Umumnya, ketika pasangan berbuat salah, dia bakal minta maaf supermanis atau melakukan tindakan-tindakan baik untuk menebus kesalahannya. Fase ini disebut sebagai honeymoon phase. Gara-gara ini, setiap terjadi masalah, timbul keraguan untuk memutuskan hubungan karena terbiasa merasakan honeymoon phase.
“Ah, nanti dia juga berubah kok. Kemarin aja pas bikin salah, dia langsung berubah.“ Ini adalah pikiran yang berbahaya banget. Tindakan kekerasan akan terus berputar karena harapan palsu itu. Memaafkan boleh, tapi stop memaklumi kesalahan (apalagi yang dilakukan terus-menerus).
Membantu mereka yang baru lepas dari toxic relationship
Nah, kalau ada orang terdekat yang terlihat sedang berada di dalam sebuah toxic relationship? Dilansir dari Psychology Today, psikolog bernama Shawn Meghan Burn meminta kita agar tidak menghakimi korban karena bertahan di hubungan tersebut. Mereka sudah merasa cukup buruk karena menerima abuse, jangan tambah diperburuk dengan pendapat kalian yang memojokkan atau menyalahkan.
Jangan buat korban merasa malu telah terbuka. Hargai ketika mereka menceritakannya ke kita. Jangan juga langsung memaksa mereka melakukan apa yang kita anggap baik, karena ini justru bisa mengingatkan mereka pada tindakan kekerasan yang melibatkan kontrol si pasangan. Serbamengatur bisa membuat mereka menghindari kita.
Cukup dengarkan dan percaya pada omongan mereka. Tunjukkan kepedulian dengan berkata: "Aku tahu itu sulit." "Itu bukan salahmu." "Ini gak bikin pandanganku ke kamu berubah".
Daripada memaksa mereka melakukan sesuatu, lakukan dengan lebih halus. Tanya apakah mereka sudah melakukan hal tersebut. Misalnya: "Kamu sudah lapor polisi belum?" "Apa kamu berpikir buat ambil jalur hukum?"
Terkahir, sampaikan kalau kamu memang peduli dengan mereka. "Kamu gak sendirian menghadapi ini. Apa yang bisa aku lakukan buat membantu?"
Tanyakan juga kabar mereka secara berkala (tapi jangan spam berlebihan). Ajak bicara kalau mereka mau, kalau nggak, pastikan mereka dalam keadaan baik.(*)